Dear Imajiner.... sastra-paraqibma.com menjadi stasiun bagi teman-teman yang ingin menikmati sajian cerpen minggu pagi. Kami akan berusaha mengarsipnya, disamping kami sediakan pula kolom yang langsung terhubung dengan cerpen beberapa maestro. Semoga berkenan.
_______________________________________________

Senin, 30 April 2012

Kalimat Hujan

Cerpen Naqib Najah

Aku tak pernah bermimpi peroleh hujan di kota ini. Ah, hujan yang syahdu: angin membelai pelan, rintik-rintik yang lembut. Kumohon jangan kau usik ketenanganku hari ini. Ketika gerimis menyetubuhi ingatanku. Membawaku pada sebuah perasaan. Tentang perempuan, tentang aroma debu yang basah oleh hujan.

Hay, inilah hujan Malioboro. Tempat penuh kenyamanan, kupeluk budaya santun di setiap sudutnya.
Mengapa hujan selalu membawa seseorang kepada masa lalu. Seperti derit kereta api yang mengembalikan segala ingatan menuju kenangan. Maka kupenuhi pikirku dengan wajah seorang perempuan. Perempuan tengah baya yang biasa aku panggil ibu. Ya, dia memang ibuku. Sosok yang pernah kusobek liang kewanitaannya. Aku menangis, aku lahir dari balik rahim perempuan yang kini sulit sekali kulihat senyum bibirnya.
Ibu selalu mengajariku untuk berdo’a di tengah hujan. Anggapnya, “rintik hujan akan berubah menjadi malaikat?” malaikat? Aku sulit mempercayai hal itu. Berulang kali ibu mengungapkan hal itu, berulangkali pula aku menolak.
“Ah, ibu bercanda. Manamungkin rintik-rintik berubah menjadi malaikat?” bantahku.
Benar. Menurut guru agamaku, malaikat itu terbuat dari cahaya. Bukan air. Lebih-lebih tanah. Namun, Ibuku selalu tersenyum mendengar bantahanku itu. Senyum yang, ah, menimangku dalam ranjang ketenangan.
Ketika aku sampai pada usia sepuluh tahun, barulah aku tak membantah apa yang ibu ucapkan. Aku manggut-manggut. Aku percaya bahwa rintik-rintik bisa berubah menjadi malaikat. “Ya, aku sekarang percaya, bu!” demikian ungkapku. Ibu masih saja seperti dulu. Tersenyum, kemudian mengelus rambutku yang kumal. Jika ibu menangkapku dalam rangkul seperti itu, maka siap-siaplah aku tertidur. Memejamkan mata sampai kemudian aku bangun oleh serbuan nyamuk.
Ternyata kedewasaanku bukan menjadi sebuah keberuntungan. Aku yang selalu ingat dengan kalimat ibu itu, selalu saja mencari alasan mengapa rintik-rintik itu berubah menjadi malaikat. Ungkapku ketika itu, “jika rintik yang sebegitu banyaknya berubah menjadi malaikat, mampuslah kita!” ya, mampus. Bukankah malaikat selalu ditugaskan Tuhan menjadi saksi kelakuan manusia. Rintik-rintik senantiasa menyebar ke mana-mana: menembus genteng yang bocor, memenuhi ranting jambu air, jatuh di segala permukaan. Maka malaikat berada di sudut manapun. Dan mereka akan mengawasi apapun yang kita perbuat.
“Ibu, aku takut dengan rintik-rintik!”
Barulah ibu kaget. Ia tak tersenyum, tidak pula merangkulku dengan hangat. Mengapa harus takut, tanya ibu sedikit ragu. Aku tak menjawab. Aku hanya menggeleng-geleng. Lantas lari menuju kamar, aku sembunyi di balik tumpukan bantal. Kugelar selimut, maka tak terlihatlah tubuhku dari atas.
“Ada apa?” seraya tersenyum, dilemparkannya pertanyaan itu kepadaku.
“Aku takut dengan rintik-rintik.“ aku keluaran kepalaku. Sedikit mirip dengan seekor kura-kura yang sembunyi di balik tempurungnya. “Kata ibu rintik-rintik berubah menajdi malaikat. Aku takut, bu! Aku takut malaikat mencatat amalku!”
Ruangan kecil itu penuh dengan tawa ibu. Tertawalah yang renyah, ibu. Sebab aku adalah lelaki yang selalu merindu senum seorang perempuan.
Semestinya ibu tak perlu menertawakan kalimatku yang konyol itu. Sebab memang benar, malaikat selalu mencatat amalku. Sumpah, aku selalu dirundung kecemasan jika berada di sudut rermang-remang.
Aku tak pernah bermain di belantara hujan. Sebab aku takut, maka aku tak suka dengan lari-lari menendang bola di bawah rintik-rintik. Entah mengapa, hujan tak pernah menjadi kegemaran bagiku. Dan selalu aku memanjatkan do’a kehadirat Tuhan, supaya secepat mungkin meredakan rintik-rintik itu.
Siapa yang suka menari di bawah hujan? Ajarilah aku. Tariklah kedua lenganku supaya aku tak mengerucut sendiri di dalam kamar.
***
Aku menemukan sosok yang mengajariku untuk bermain dengan hujan. Ibu. Ya, dialah perempuan yang menawarkanku untuk menari ketika hujan. Ia lemparkan kepadaku sebuah bola. Aku tendang. Aku lari dengan riang. Ibu mengajariku, bahwa hujan tak perlu ditakuti. Hujan adalah kasih Sang Pencipta. Maka wajar saja jika sekarang aku sering tersedu manakala mendengar suara hujan membentur atap-atap. Suara yang nyaring. Suara yang membuatku tertegun sendiri.
“Berdoalah ketika hujan. Bisa jadi, doa kamu akan terkabulkan!” benarkah? Kembali aku sedikit tak percaya. Ibuku memang aneh, dan aku adalah orang pertama kali yang menolak ajarannya. Mengapa hujan disangkut-pautkan dengan ijabahnya sebuah do’a?
“Hujan akan mengantaran do’amu kehadirat yang kuasa!”
Maka hujan tiada beda pak pos yang selalu membawakanku selayang surat dari seorang paman. Ah, hujan. Jika benar seperti itu kedudukanmu, maka aku titipkan selayang do’a. Haturkan kepada Sang Pencipta supaya aku menjadi lelaki yang tak pernah takut dengan kemiskinan, begitu aku berdo’a.
Akhirnya aku selalu merindu datangnya hujan. Aku tunggu mendung. Aku tunggu angin yang bertiup besar.
Aku tak lagi bermain air sewaktu hujan. Aku tak keluar rumah, aku tak berlari-lari menjemput hujan. Aku lebih suka berdiam diri di dalam kamar. Sambil mendengar suara rintik-rintik yang menatap genteng-gentng rumahku, sambil kuhaturkan selaksa doa. Tuhan-Tuhan-Tuhan, aku takut kemiskinan. Seperti juga kematian, aku selalu menakuti kedua hal itu.
Mungkin kau akan menganggapku sinting jika aku berdoa kehadirat Tuhan, memintanya supaya mengabadikan hidupku. Membuang kematian dalam sejarah hidup. Ya, sinting sekali diriku. Bibirku yang kotor ini, suka mendoa supaya hidupku adalah hidup yang abadi. Seperti cerita seorang alkhemis, seperti cerita sebatang pohon yang menyaksikan kehidupan ini sampai beratus-ratus tahun.
Dan Tuhan tak mengabulkan permohonanku. Sampai kemudian, aku dan pohon adalah sebuah cerita tersendiri. Tuhan menjodohkan kematianku dengan sebuah pohon:
Aku yang mulai tak pernah takut dengan hujan, aku yang sedang berkendara santai menuju rumah. Hujan begitu lebat. Hujan yang mengundang petir, hujan yang meributkan semua orang untuk segera berteduh. Namun, ibuku selalu menanamkanku untuk mencintai hujan. Maka tak perlulah aku berteduh. Kukendarai motor dengan penuh penghayatan. Dalam batin, aku mengucap dua buah doa. Dua pengharapan yang tak pernah lain: aku ingin hidup menjadi orang kaya, aku ingin hidup selama-lamanya.
Aku menganggap hujan ketika itu adalah tangis Yang Maha Kuasa. Aku yakin, dan berani sekali aku bersumpah atas kebenaran hal itu. “Sang Pencipta sedang menangis.” Teriakku dalam hati. Atau mungkin marah? Ah, apa bedanya orang yang menangis dengan orang yang sedang dirundung amarah. Bukankah air mata adalah ujung dari sebuah amarah? Seperti hikayat seorang peri yang pernah ibu ceritakan. Ya, sesosok peri pernah menangis sejadi-jadinya. Tangis yang amat syahdu, tangis yang membuat rerumputan ikut merunduk. Peri itu tak juga selesai dari tangisnya. Sampai kemudian datang seekor jalak, ditanyalah, “mengapa ibu peri menangis?” Ibu peri tak peduli dengan kehadiran burung itu. Malah, ia semakin banyak mengeluarkan air matanya. Jadilah air mata itu sebuah sungai, sebuah danau, sebuah laut. Ya, menurut ibu, laut tercipta berkat tangis seorang peri. “Ibu peri menangis sebab menahan amarah dalam batinnya.” Begitu tutur ibu.
Rintik-rintik hujan menjebakku. Aku tak melihat siapa di hadapan. Sedang detak jantungku masih mengucap do’a, menghaturkan dua permohonan yang katamu sinting itu.
Tuhan, aku ini tak mau miskin. Aku tak mau mati. Sebab kematian adalah perpisahan yang menarik-narik perasaanku. Menempa seorang hamba di bawah luka yang panjang. Dan perpisahan seperti itulah yang selalu kubenci. Perpisahan yang sulit mempertemukan seseorang.
Lebih baik aku pergi bertahun-tahun di negeri orang. Dan suatu saat kembali lagi kekediaman. Namun, kematian tak pernah menggariskan seperti itu. Kematian, ah, hikayat tangis yang kuharap menjauh dari kehidupanku.
Petir semakin mengutuk jiwa manusia. Angin bertiup kencang, memilah ujung dedauan, dan mampuslah aku. Kau tahu, saudara, pohon besar yang  tentunya berumur lebih panjang dariku itu, tumbang. Terdengar bunyi yang mengagetkan. Bukan petir, bukan pula suara motor menabrak tiang. Itulah suara pohon. Pohon yang besar. Pohon yang mendoyong. Doyong lagi. Menebas kabel listrik yang panjang. Menindih dirikku yang masih mengucap do’a, “Tuhan, aku tak mau tertimpa mati!”
***
Aku tak pernah bermimpi peroleh hujan di kota ini. Ah, hujan yang syahdu: angin membelai pelan, rintik-rintik yang lembut. Kumohon jangan kau usik ketenanganku hari ini. Ketika gerimis menyetubuhi ingatanku. Membawaku pada sebuah perasaan. Tentang perempuan, tentang aroma debu yang basah oleh hujan, tentu.
Hay, inilah hujan Malioboro. Tempat penuh kenyamanan, kupeluk budaya santun di setiap sudutnya.
Mengapa hujan selalu membawa seseorang kembali kepada masa lalu. Seperti derit kereta api yang mengembalikan segala ingatan menuju kenangan. Maka kupenuhi pikirku dengan wajah seorang perempuan. Perempuan tengah baya yang biasa aku panggil ibu.
Namun, aku lebih suka menyebut hujan sebagai cerita masa lalu. Sebagai akhir dua buah do’a yang selalu kupanjatkan itu.
Maka, jika hujan turun, kumohon kau hadir di pemakamanku. Hujan, kata ibu, adalah rintik-rintik yang menghaturkan do’a seorang hamba kehadirat Tuhannya.
***
Yogyakarta, 11 November 2008

1 komentar:

Suka deh ceritanya :)
Eh boleh koreksi yah pas kalimat ini : Mengapa harus takut, tanya ibu sedikit ragu.

Pas kalimat 'mengapa harus takut' kurang tanda kutip dan tanda tanya. Hehe tapi serius suka deh ceritanya! :D

Posting Komentar