Dear Imajiner.... sastra-paraqibma.com menjadi stasiun bagi teman-teman yang ingin menikmati sajian cerpen minggu pagi. Kami akan berusaha mengarsipnya, disamping kami sediakan pula kolom yang langsung terhubung dengan cerpen beberapa maestro. Semoga berkenan.
_______________________________________________

Sabtu, 28 April 2012

Pelajaran Bercinta

Cerpen Benny Arnas (Suara Merdeka, 15 April 2012)




Palung  
Rinduku adalah dekap buku pada pembatas halaman, tepat pada bab perjumpaan paling dahsyat di dunia.

Aku sangat yakin kalau kau memiliki perasaan yang sama terhadapku walau mungkin kau memiliki cara yang berbeda dalam mengungkapkannya. Oh, jangan-jangan aku tengah tergores oleh tajamnya kata-kata penantian? Ya, aku masih ingat sekali kata-katamu dulu, tepat beberapa hari setelah kau menyatakan cinta kepadaku. Kau nyaris terluka oleh sebilah penantian yang kuasah. Kau juga tak cukup kuat diombang-ambing ketakpastian. Padahal aku hanya ingin menunjukkan, bahwa perjuangan memetik setangkai wijayakusuma yang mekar tak ada apa-apanya dibanding dengan ujian kesabaran menunggu kelopak-kelopaknya merekah di bawah bayang rembulan. Ah, rasanya aku terlalu berlebihan kala itu. Tapi, aku pikir, tidak apa-apa untuk mengetahui seberapa tangguhnya kamu—walau aku tak yakin kalau aku akan baik-baik saja bila kau meralat perasaanmu.

Kini, aku percaya kalau penantian dapat mengecambahkan rasa senang yang menyebalkan. Aku dapat memaklumi ketaknyamanan yang menghinggapimu; kau memang tidak memiliki cukup alasan untuk mencemburuiku kala itu, bukan? Ya, apalah hakmu melarang orang lain memetik bunga yang tumbuh di tanah yang bukan milikmu? Apalah hakmu mencemburui seorang perempuan yang belum menerima cintamu?
O, maafkan aku, Batang.
Untunglah ada Bunga! Ya, karib kita yang namanya secantik perangainya itu, tahu benar bahwa aku telah dipilih Tuhan untuk serentetan ujian yang tidak semua orang mendapat kesempatan untuk menjalaninya. Ya, kau mengabarkan perpisahan lewat Bunga tepat ketika Tuhan tak sabar lagi memeluk kedua orangtuaku selama-lamanya. Aku tahu, tidaklah mudah baginya untuk memegang rahasia yang meremukkan hati sahabatnya.
“Kita sama-sama wanita, Palung. Karena itu aku berusaha menjadi dirimu kala musibah itu menghantammu. Ponselmu yang berdering di atas meja ruang tengah, refleks kucangking ketika mengetahui Batang menghubungi. Tentu, aku tak sempat berpikir untuk mempersilakan Batang berbicara kepadamu pada saat kau meraung hebat di hadapan kedua orangtuamu yang terbaring kaku. Kau tahu, kala itu Batang mengira kaulah yang menjawab panggilannya. Nada suaranya sangat gembira saat mengabarkan penugasan yang baru diterima. Ia harus mendadak pergi ke beberapa negara Afrika untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, Lung. Aku belum sempat mengatakan apa-apa ketika Batang memintamu melepas kepergiannya di bandara malam itu. Bibirku seolah tak berdaya untuk mengatakan apa pun saat itu. Menurutku sangat tak mungkin kau pergi di malam orang-orang berkumpul mengirimkan doa untuk kedua orangtuamu. Aku hanya menangis saat itu. Aku pikir Batang menerjemahkan isakanku sebagai keterharuanmu atas kabar gembira itu. Maafkan aku, bila kaupikir aku lancang, Lung….”
Sungguh, aku bagai sakura yang menolak luruh di musim gugur. Nyaris saja aku muntab bila akal sehatku menolak bekerja. Kucerna lamat-lamat penjelasan Bunga. Aku mencoba tegar di tengah hantaman ujian yang bertubi-tubi. Bunga menyampaikan semuanya beberapa hari setelah kau pergi. Aku yakin ia belum tentu akan menceritakan semuanya bila tak mendapatiku merutuki ketakpedulianmu (aku tak habis pikir bagaimana bisa kau tak hadir ketika kekasihmu dirundung duka!).
Ah, sudahlah!
Kini aku bahkan sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Bunga. Kau tahu, ia bahkan sempat mengungkapkan kekesalannya terhadapmu. Ia menyebutmu keterlaluan karena mengabarkan perpisahan pada hari yang sama dengan kepergianmu. Ah, untung saja kujelaskan kepadanya bahwa sebenarnya kita sudah membincangkan bahkan mendebatkannya cukup lama. Tapi memang aku tak menyangka kalau penugasanmu begitu tiba-tiba, datang pada waktu yang salah… (walau aku tahu bahwa kau tak tahu apa-apa tentang musibah yang menimpaku hari itu).
Kini, Bunga seolah menjadi belahan jiwaku. Hmm, maksudku, sahabat yang mengerti kelebihan-kekuranganku. Bahkan kami sudah tinggal serumah. Beberapa waktu setelah peristiwa duka itu, ibunya menawariku tinggal di rumahnya. Kau tahu ‘kan kalau kami sama-sama anak tunggal? Maka sejak saat itu, ibu Bunga adalah ibuku juga. Aku tak membutuhkan waktu lama untuk menjadi bagian hidupnya. Bahkan hari-hariku kembali ceria seolah taman bunga yang selalu diciumi gerimis kala pagi dan sore menyambangi. O ya, di waktu-waktu tertentu, bila kerinduanku kepadamu memuncak, Bunga Raya sangat pandai membuat airmataku tak keluar dari peraduannya. Ia bahkan mengatakan, alangkah beruntungnya kau memiliki kekasih yang setia sepertiku. Hmm, maksudku keberuntungan itu sama seperti keberuntunganku mendapati kekasih tampan, gagah, dan bertanggungjawab sepertimu.
“Sekarang ini, tak banyak lelaki yang berminat jadi tentara, Lung. Bahkan ada yang menjadikannya pelarian terakhir ketika sejumlah pekerjaan gagal dilakoni. Jangan heran kalau jiwa nasionalisme dan patriotisme sudah jarang dimiliki warga negara karena tentara saja banyak yang menghindari tugas di daerah konflik. Nah, Batang adalah pengecualian. Kalau kepada Tanah Air-nya sendiri ia sudah sebegitu setianya, apalagi kepadamu, Lung?”
Nah, Kekasihku Batang, tentu lima tahun bukan waktu yang singkat untuk memelihara cinta agar tetap rekah dan semerbak wanginya, bukan? Tidakkah kita ingin membuktikan kesetiaan masing-masing? Ah, aku tak menyangka kalau di daerah konflik sana, kau masih memelihara kecakapanmu merangkai kata-kata indah. Sebuah puisi yang kaukirim lewat email pagi ini membuat kepalaku dipenuhi jutaan angan-angan tentangmu, Sayangku!
O, datanglah, Batang. Walaupun menikah di usia kepala tiga tak pernah masuk dalam perbincangan kita, tapi demi melihatmu bahagia—karena impian mengabdi atas nama negara tertunaikan, kupikir itu bukanlah hal yang layak dipermasalahkan.
Ah, Bunga harus segera tahu gembira ini!
 .
Bunga
Perjumpaan adalah ciuman hujan pada tanah yang kerontang oleh kemarau penantian.
Dapat kubayangkan, pertemuanmu dengan Batang akan meluapkan kebahagiaanmu, Lung. Sungguh, kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku pula. Bagiku cinta tanpa pengorbanan ibarat menggenggam air. Omong kosong belaka! Ah, tapi apakah orang yang berkorban demi cinta harus menyumbangkan semua kebahagiaannya untuk orang lain?
Dalamnya cintaku kepadamu umpama palung. Dan adalah bohong kalau saking dalamnya, palung tak memiliki dasar. Namun begitu, hanya kau yang tahu bagaimana menginjakkan kaki di lubuknya. Hanya kau. Hanya kau. Kau tahu, aku bagai lesap ke dasar kebahagiaan ketika dengan polosnya kaunyatakan aku sebagai belahan jiwamu. Sungguh, hampir saja aku mengira sebelah tanganku tak menepuk air di dulang bila kau tidak kerap membawa-bawa kerinduanmu kepada Batang dalam sejumlah pecakapan kita.
Sungguh, aku sangat iri (bila tak ingin dikatakan cemburu) ketika di sela-sela kehangatan kita, ingatanmu pada Batang serta-merta menguasai benakmu. Kauumpamakan kekasihmu itu sebagai pohon yang berkanopi lebar dan lebat. Pohon yang kerap kausandarkan untuk sekadar menyelonjorkan kaki sembari mecurahkan kekesalanmu pada suatu hari. Namun apakah kau tak pernah sadar, Lung. Kalau aku kerap bersembunyi di balik pohon besar itu. Aku tahu kau menganggap sepasang tangan yang memelukmu dari belakang adalah cecabangnya. O, tahukah kau, alangkah bungahnya aku ketika kerinduanmu kepada Batang kambuh, kau menjatuhkan kepalamu di bahu atau dadaku. Entah, apakah kau merasakan detak jantungku yang tergesa-gesa atau tidak, yang jelas kedua tanganku refleks menggamitmu dalam pelukanku seolah tak ingin kau cepat-cepat merenggangkan kehangatan.
Ya, aku sudah lama memendam perasaan terlarang ini kepadamu. Aku tahu teman-teman kita kerap memuji atau bahkan menyindir kesetiaanku pada kau dan Batang. Palung-Batang-Bunga memang tiga sahabat yang tak mungkin diceraikan, walau sebagian yang lain mencibirku sebagai gadis tua yang tak sadar diri. Begitulah yang sampai di mata-mata mereka. Begitulah yang kau dan Batang pikirkan. Oh, semua kulakukan karena aku tak sanggup jauh darimu, Palung Sayangku. Maka, ketika kabar penugasan Batang itu mengetuk gendang telingaku, sungguh bahagianya aku—apalagi belum ada kepastian (kapan) masa tugasnya berakhir.
Tuhan memang mencintai hamba-Nya yang pantang menyerah. Kepergian orangtua dan kekasihmu adalah momen yang paling tepat untuk mewujudkan semua mimpiku; memilikimu seutuhnya, Palungku!
Maafkanlah perasaan ini, wahai sahabat-sahabatku. Sungguh, aku tak tahu bagaimana kecenderungan ganjil ini tiba-tiba tumbuh di dalam diriku. Tentu aku tak ingin mengkambinghitamkan kekejaman Ayah kepada Ibu ketika aku masih kecil dulu. Hingga Ibu akhirnya meracuni Ayah di suatu pagi. Dan Ibu melakukan semuanya bukan karena ia membenci Ayah, tapi karena ia ingin membesarkanku tanpa bayang-bayang kebejatan Ayah. Aku tahu kalau saban Jumat petang, dengan alasan menghadiri arisan teman-teman lama di luar kota, Ibu kerap mengirim doa kepada Ayah di depan gundukan makamnya. Ibu adalah wanita yang sangat setia. Sungguh setia. Bagiku, tak ada perempuan yang mampu menyerupai kesetiaannya sebelum tiba-tiba kau hadir sebagai almamaterku, Lung.
Aku ingat sekali, kau menerima tawaran Batang untuk menjalin asmara dengannya di semester pertama. Menilik kegagalanku menjalin hubungan khusus dengan beberapa lelaki, aku tak yakin hubungan kalian akan bertahan lama. Aku bahkan mengira Batang akan mengkhianatimu sebagaimana sejumlah laki-laki brengsek yang mengecewakanku. Namun apa yang terjadi? Hingga kini, kesetiaanmu telah menginjak usia tiga belas tahun—termasuk lima tahun terakhir tanpa Batang di sampingmu. Ah, yang membuatku kesal adalah Batang tak kunjung mengabarimu setelah kepergiannya. Akun Facebook-nya serta merta menghilang, emailnya tidak valid lagi, hingga nomor ponsel yang tidak lagi digunakan. Ke mana akan kaulacak kebahagiaan itu, Lung?
O, tidakkah seharusnya kau bahagia dengan semua itu, Bunga? Bukankah itu artinya tidak ada lagi yang kuasa menghalangimu meraih hati Palung?
Tidak! Kini semua tidak sesederhana itu, tidak semudah itu, tidak sematematis itu! Kesetiaanmu kepada Batang telah memberiku pelajaran tentang arti mencinta. Cinta haruslah mengalirkan kebahagiaan ke samudera mana pun hingga sesiapa dapat merasakannya, termasuk kepada hatimu yang bersemayam di palung paling dalam di dunia ini. Ya, alangkah kejamnya bila harus kupaksakan ingatanmu tentang Batang menguap lalu menggantinya dengan segala hal yang berbau diriku. Ah, tentulah kebahagiaanku adalah nisbi apabila kau harus mati oleh tajamnya samurai penantian, wahai Palungku!
Rindukuku adalah getah yang merekatkan tangkai dengan bunga, tepat pada kelopak yang menguar aroma tubuhmu. Nantikan aku di hatimu, Sayang. Hanya dalam beberapa hari, aku akan memekarkan bunga warna-warni yang selalu kusiram dengan air paling jernih yang kuambil dari palung paling dalam di dunia ini.
Setelah kubuat email baru atas nama Batang, kugubah sekaligus kukirim puisi itu kepadamu. Aku tahu benar kalau Batang bukan sekadar gagah dan tampan. Ia juga romantis bahkan cenderung melankolis. Hmm, aku tak ingin kau mengendus tipu daya ini, Lung. Sungguh. Aku tak ingin melihatmu berlayar dalam kerinduan tak berujung, yang akan menenggelamkanmu dalam harapan yang tak menjanjikan kebahagiaan sedikit pun. Biarlah, biarlah kupikirkan bagaimana merangkai puisi baru yang akan segera kukirimkan kepadamu.
Puisi yang mengabarkan pengunduran waktu kedatangan Batang. (*)
 .
.
Jakarta, 2011
Benny Arnas lahir di Lubuklinggau, 8 Mei 1983. Buku kumpulan cerpen terbarunya adalah Jatuh dari Cinta (Grafindo, 2011).

0 komentar:

Posting Komentar