Cerpen Naqib Najah
Kalau kau buta, mudah saja mengetahui kapan senja hendak rebah kemudian datanglah malam. Senja hendak rebah, terdengarlah nyanyian perempuan dengan suara miris seperti orang tercekik. Ia bernyanyi menelusuri jalan setapak. Sesekali saja ia berhenti, memetik kelopak tetumbuhan merambat, atau kuntum enceng gondok yang terdampar di tepi jalan itu.
Aku yang pernah terkagetkan oleh suara piring jatuh membentur tembikar, tak pernah mendengar suara atau nyanyian yang lebih menyayat ketimbang nyanyian perempuan yang kukenal pendiam itu. Nyanyian perempuan itu, betapa lantangnya. Menyebar ke segala sudut. Bahkan bisa dipastikan, liang-liang ular di bawah rimbunan ilalang itu pun ikut gaduh.
Dan dengan nyanyian inilah malam terjemput penuh syahdu. Gugusan-gugusan bintang sembunyi di balik mendung, rembulan gelisah, angin menyerbu pelan-pelan sekitar pemakaman. Runtuhlah daun-daun pohon itu, melenggang-lenggang lantas hinggap di rambut perempuan itu. Kerah bajunya yang ikut dimasuki dedaunan, membuatnya menggerak-gerakkan tangannya sedikit risih.
Perempuan itu akan terus mengembarakan suaranya. Sampai gelap merata, ketika bayi yang ia gendong mulai merasa dingin. Bernyanyilah perempuan itu, beradu dengan tangis bayi. Dan suara perempuan itu, tangis bayi itu, tak layaknya suara yang keluar dari kerongkong manusia. “Terompet Isrofil,” begitu aku menyebutnya.
“Salam hormat untuk kakanda, panglima terjantan sejagat.” Seraya mengangkat lengan memberi hormat, perempuan itu mengucap salam. Ia sudah sampai pada tempat yang amat tersembunyi. Berkerubung ilalang-ilalang panjang, hampir seukuran tubuh perempuan itu. Beratapkan lubuh-lubuh serta ranting-ranting pohon besar yang sangatlah rindang. Di sinilah seorang yang ia sebut “panglima” merebahkan tubuh selama-lamanya. Makam seorang suami yang jangan kau gugat seberapa mulyanya ia di hadapan perempuan itu.
“Salam hormat kedua kalinya, perwakilan bayi laki-lakimu yang tak henti menangis,” kemudian ia menurunkan lengan tangan kanannya, lantas memegang lengan si bayi, dan menyentuhkannya pada nisan. Bayi yang ia gendong semakin menangis, kedua kakinya menendang-nendang perut perempuan itu.
“Panglima, kapan kau sudi mengajari bayimu ini arti kejantanan. Dia tak seperti dirimu, panglima. Kejantananmu, ah, siapa yang bisa menandingi.”
Daun-daun luruh. Angin bertiup namun tak mengamuk, dan anjing-anjing lapar tak melolong melempari malam. Hanya saja, siapa yang sanggup menahan tangis bayi itu. Searah daun-daun kering yang luruh, air mata bayi menitik membasah di pipinya.
“Bayimu ini laki-laki. Tapi tangisnya… Apa benar dia hasil dari benih yang panglima tanam di rahimku. Pagi, siang, malam, bayimu ini tak henti menangis. Mirip orang yang tak mempunyai kejantanan saja, panglima!”
Bila kau menganggap perempuan itu sinting, cepat-cepatlah menyesal dengan ungkapanmu itu.
Ia masih mampu membedakan air dengan minyak, hitam dengan kelabu, pasir dengan debu, laut dengan sungai. Bahkan membedakan rayuan dengan ajakan yang memang tulus, ia pun sanggup. Perempuan yang boleh ditaksir masih berumur tiga puluh tahun, (usia seorang ibu muda) boleh dikata masih cantik, seumpama saja rambut kumalnya dipotong cesual dan diberi pelembab setelahnya. Tak merugi suaminya yang ia panggil “panglima” meminangnya ketika paras wajahnya masih menyimpan aura penuh pesona.
“Panglima, hidup ini hikayat neraka.”
Membayangkan perjalanan hidup, tak semudah menebak habisnya ajal sebatang lilin. Sebatang lilin di waktu gelap, ah, kau sanggup menebaknya kapan sumbu itu habis. Kau bisa mempersiapkan sebatang yang baru sebelum lima atau enam jam lilin itu padam. Namun hidup ini, keputusan yang dituliskan Tuhan seperti tersembunyi jauh di langit sana, atau bahkan lebih jauh dari itu.
“Panglima, hidup ini hikayat neraka.”
Nyanyiannya mengalun lebih keras dibanding ketika ia baru datang di pemakaman. Perempuan itu mengayun-ayunkan badannya, menepuk-nepuk pantat si bayi, dan kedua matanya berbinar-binar memandang nisan bertuliskan, “PANGLIMA HARDANI”
Bentuk tulisan yang amat samar. Tak tertulis dengan cat, namun hanyalah goresan-goresan benda tajam seolah tertulis alakadarnya.
“Panglima, hidup ini hikayat neraka!” tanpa jenuh ia mengulangi kalimat tersebut. Dengan suara parau, layaknya seorang istri yang mengadu kepada suaminya. Tapi, ia memang sedang mengadu, bukan?! Air matanya tergerai, ia sedang berkeluh kepada suami yang ia sebut “panglima” itu.
Apakah setiap kali perempuan itu datang ke pemakaman “panglima”, Tuhan tak sudi mengulurkan tangan suci-Nya guna menebarkan ketenangan di benak perempuan itu, bayi itu. Sehingga ia selalu merasakan desakan-desakan luar biasa setibanya di pemakan suami yang ia sebut panglima.
***
Mengenang gemericik kehidupan perempuan itu, “Ketika bersuami lelaki yang sangat dicintai, yang sebulan setelah pernikahan sudah mampu membuat perut perempuan itu mual-mual, ia muntah.” Lantas berujarlah bahwa,” benih yang kau masukkan, panglima, sebentar lagi akan menjelma panglima kecil. Kau akan semakin paham seberapa ringannya tangan Tuhan untuk membolak-balikkan kehidupan manusia. Menumpahkan kebahagiaan dan menggantikannya dengan nestapa yang tak berujung. Membuang kekayaan yang sudah menggunung menjadi kelaparan yang mengimpit. Tangan Tuhan sungguh kuasa, janganlah kau berbangga hati bila Tuhan sekarang menampakkan di hadapanmu sekarung emas. Sekarung kebahagiaan yang dulu perempuan itu rasakan, sirnalah sudah.”
Namun tak usah kau suruh bumi berhenti berputar, dan memerintahkan Tuhan untuk mengulang putaran hari-hari perempuan itu. Perempuan itu tak butuh dikembalikan kepada waktu-waktu yang indah, sekali pun hidup ini hikayat neraka. Di dalam jiwanya ia masih menyimpan hati yang sangat mencintai “panglima”, yang kadang-kadang bila perempuan itu melihat lukisan pernikahannya ia mendadak tertawa beriak-riak, kemudian berjalanlah ia menelusuri jalan setapak itu seraya bernyanyi.
***
Mengapa angin berhenti bertiup. Daun-daun tak lagi luruh, dan lolongan anjing menyemarakkan malam. Apakah tangan Tuhan benar terulur di dekat helai-helai rambut perempuan itu, mengelus pipi bayi itu, lalu berseraklah benih-benih kebahagiaan di batin perempuan itu. Benarkah.
Tidak-tidak. Tidak! Tuhan belum mengulurkan tangan-Nya. Angin bertiup lagi dan tidak mengamuk, daun-daun luruh, anjing-anjing liar berhenti melolong melempari malam. Dengarlah bayi itu menagis. Perempuan itu bernyanyi membelah malam, menembus ilalang.
“Kejantananmu, panglima, siapa lelaki yang sanggup mengimbangi. Dengan maksud tak mau bertindak curang, kau berucap terang-terang di hadapanku bahwa hatimu sedang tergila-gila oleh perempuan lain. Kau bilang, tak bisa lagi menahan rasa yang menggebu-gebu itu. Sesuatu yang mendidihkan hatimu, membuatmu gelisah, dan kau ucapkan permintaan secara jantan di hadapanku. Kau sungguh jantan, melontarkan kalimat permohonan supaya aku sudi memberikan izin agar kau tak mati terikat cinta, yang lagi-lagi katamu tak bisa ditahan-tahan.”
Selesai ia berkata. Badannya kembali bergoyang-goyang, terdengarlah nyanyian itu.
Ketika memandang lengan kirinya, didapatinya sunggingan bekas luka, lurus, tak sebegitu tebal. Namun bekas luka itu sangatlah jelas. Timbul di atas kulitnya yang putih.
“Panglima, maafkan istrimu yang ceroboh ini. Maafkan, panglima!” air matanya tergerai, merangkak di kedua pipinya, mengendap sebentar di bibir, lantas jatuh persis di dahi bayi itu. Kedua matanya yang tengadah memandang daun-daun yang masih berjatuhan.
“Panglima, aku tak bermaksud membunuhmu. Kau lelaki jujur, penghormat wanita. Kedua tanganmu suka mengelus-elus rambutku, mencumbuku. Bahkan ayunan di pertamanan itu, aku masih ingat ketika kedua tanganmu memain-mainkan rantainya, ayunan bergoyang, kau buai aku penuh kasih, panglima!
Namun malam itu, PYARR, kau pecahkan cermin almari, kau suruh aku menusukkan pecahan cermin tersebut. Sehabis mulutmu meminta izin guna bercinta dengan perempuan yang kau gila-gilai, kedua bibirmu bergetar berucap, “Tusukkan cermin itu di dadaku, istriku. Aku ini lelaki bodoh. Bunuh saja diriku, istriku!”
Ah, terlalu jantan dirimu, panglima. Bahkan untuk menebus “kesalahanmu” yang telah berani jatuh hati kepada perempuan lain, kau rela tertusuk.
Aku ambil pecahan cermin. Dirimu yang bersandar di tembok dekat dipan, kupandang sebentar dengan mata tajam. Aku berdiri, dan pecahan kaca itu sudah ada di tanganku. SYRRIIT. Darah mengalir di lenganku. Kuiriskan pecahan kaca itu tepat di lenganku. Ya, di lenganku, panglima.
Setelah kulihat pecahan kaca itu berlumur darah, lekas-lekas kutusukkan pecahan kaca itu di dadamu, di dadamu!
Tubuhmu berdarah, ya, dan kau…”
Perempuan itu berdiri. Di hapusnya air mata yang masih menetes di dahi bayi. Ia mendekati rimbunan ilalang. Angin memainkan helai rambutnya. Jemari tangannya yang lentik memetik kelopak enceng gondok, memenuhi genggaman lantas berlutut lagi di samping pemakaman.
“Panglima, aku yakin kau tahu perasaanku. Panglima tahu apa yang sebenarnya aku kehendaki. Ya, aku hanya bermaksud menyatukan darahku dengan darahmu, panglima. Oleh sebab itulah, kulumuri pecahan kaca itu dengan darahku sebelum kutusukkan di dadamu. Supaya darah lenganku itu masuk di dadamu. Agar kau tak lagi gelisah, dan abadilah kebahagiaan kita.
Namun. Namun, apalah daya, panglima. Aku terlalu tajam menusukkan pecahan kaca itu. Ketika itu, hatiku terlampau penuh akan emosi. Dan aku yakin kau tahu, panglima, bagaimana seorang wanita apabila mendengar lelakinya mencintai wanita lain. Dan jam yang berlalu seperti pisau berterjangan mencium luka.1) Angin menebarkan bau anyir, seperti ada darah yang menggenang, tercecer-cecer, melekat di setiap sudut.
Anjing-anjing itu, kini melolong melempari malam. Langit tumpahkan tangis.
***
0 komentar:
Posting Komentar