Kalau memang tidak ada kesempatan lain, maka cukup hidupkan satu masa di mana hanya teks yang berbicara.

Jangan lagi percaya, jejak hanya berbuah pijakan lama. Lewat sebuah karya, jejak-jejak telah subur menjadi bunga.

Sebelumnya kami hanya membaca, kini kami mulai mencerna. Sebelumnya kami hanya mencerna, tapi sekarang mulai kami menulis: puncak identitas tahap pembelajaran.

Siap: membaca, mengamati, menyimpulkan, memperbarui.


Dear Imajiner.... sastra-paraqibma.com menjadi stasiun bagi teman-teman yang ingin menikmati sajian cerpen minggu pagi. Kami akan berusaha mengarsipnya, disamping kami sediakan pula kolom yang langsung terhubung dengan cerpen beberapa maestro. Semoga berkenan.
_______________________________________________

Selasa, 25 Desember 2012

Cinta Bantal Tidur, Cinta Rahasia Anda



Semakin pandai Anda merahasiakan sesuatu, semakin banyak benda mati menyimpan tabungan masalah Anda.

Pria ini sebenarnya bukanlah orang aneh yang perlu dibawa ke rumah sakit jiwa. Ia masih waras, hanya saja, perlu terapi beberapa hari untuk menyembuhkan orientasi cintanya yang sudah tidak lagi normal.

Perkenalkan, ia adalah Lee Jin-Gyu. Maret 2008, tepat ketika ia berusia 28 tahun, ia resmi menikahi benda yang biasa ia peluk setiap tidur. Lee Jin-Gyu menikahi bantalnya, setelah melakukan perjalanan ke Jepang, meminta bantuan pendeta lokal, mengenakan jas dan gaun untuk pasangannya, serta kehadiran beberapa teman sebagai saksi terjadinya legalitas antara dia, dan bantal yang sudah dikencaninya selama enam tahun itu.

Itulah Lee Jin-Gyu, Anda belum telat untuk mengucapkan happy wedding kepadanya.

Anda pernah mendengar istilah manusia adalah makhluk paling sempurnan? Anda bisa mengaitkannya dengan peristiwa Lee Jin-Gyu yang kontroversial itu mulai dari sekarang.

Kalimat yang mengungkapkan kesempurnaan manusia sebagai makhluk Tuhan memang sering Anda dengar. Mungkin dari Alquran, mungkin juga dari tinjauan scientist, tentang kesempurnaan otak manusia, tentang kecaggihan sistem organ tubuh, serta keenam indera.

Namun lewat cerita Lee Jin-Gyu, kesempurnaan itu perlahan-lahan luruh. Diam-diam Lee Jin-Gyu yang berbadan gendut dan bermata sipit itu memukul arti kesempurnaan manusia, ia mengajari saya bagaimana kesempurnaan manusia pada akhirnya menyerah hanya oleh benda mati saja. Saya, begitu pun Anda, tentu merasakannya….

Selasa yang panjang, saya menghabiskan sore natal ini dengan membersihkan kamar: meletakkan pulpen pada mug, membongkar tatanan buku, mengangkat kasur beserta bantal keluar ruangan.

Untuk salah satu bantal, saya harus mengangkatnya dengan hati-hati. Ia sudah berlubang, jika sarungnya lepas sedikit, maka kapas-kapas berhamburan, dan buktinya….

BUKK!!! Bantal saya jatuh,kapuk-kapuk berhamburan, cukup banyak dari biasanya.

Saya cukup kaget. Ternyata isi bantal tersebut tidak sekadar kapuk. Saya melihat kertas-kertas serupa note belanjaan, potongan kertas kardus, dan kain-kain lusuh. Semuanya berjatuhan bersamaan dengan kapuk, pikir saya, barangkali bila sobekan bantalnya lebih lebar akan keluar nota pembelian celana dalam pembuatnya sekalian.

Namun kenyataannya bantal yang biasa saya pakai itu memang tidak terbuat dari kapuk saja. Tapi juga kertas, potongan kardus, kain, dan mungkin saja memori-memori yang ada di kepala Anda.

Sejak berkenalan dengan Lee Jin-Gyu, akhirnya saya melihat bantal bukan lagi sebuah bantal. Di tengah berjatuhannya potongan kardus dari dalam bantal tersebut, diam-diam saya melihat kenangan saya yang berterbangan. Benda satu ini pernah menjadi saksi kesedihan saya: mungkin saat saya gagal meraih target, sedih sebab mengingat sebuah beban, dan kesedihan-kesedihan lainnya. Di sisi lain, dia juga merekam kebahagiaan saya saat saya mendapat bunga tidur yang istimewa: bertemu Jose Mourinho dan seolah diberi pesan untuk tetap memupuk keyakinan, diberi mimpi mempunyai rumah bagus dengan keceriaan anak dan istri di dalamnya, dan bunga tidur lain yang membuat saya melengkungkan senyum di setiap bangunnya. Soal mimpi apa saja itu, bantal-bantal saya paling mengingatnya.

Saya terpaksa memasukkan kembali potongan kardus beserta kain-kain lusuh itu ke dalam bantal saya. Yah, saya pikir, sejelek apa pun isi bantal saya, potongan kardus (yang tidak sempurna itu) telahmenyatu dengan kapuk-kapuk, mereka adalah komponen yang mengingat banyak hal akan memori hidup saya.

Lee Jin-Gyu mencintai bantalnya sebab ia melihat wajah Fate Testarossa di dalamnya. Bantal yang sekaligus istrinya itu, telah menyimpan kenangannya atas Fate Testarossa yang merupakan tokoh gadis dalam serial anime Mahou Shoujo Lyrical Nanoha. Maka bantal yang dimiliki Lee Jin-Gyu, tidak lain adalah tabungan memorinya terhadap gadis serial tersebut.

Mungkin Anda akan mencintai bantal Anda sebab Anda melihat air mata Anda saat menangisi nasib orang tua yang tak kunjung sembh, atau Anda akan menyayangi bantal Anda sebab Anda melihat raut khawatir Anda saat sadar Anda berbohong terhadaporang lain, lalu di sela-sela jelang jam tidur, Anda memikirkannya dengan begitu keras.

Kita tidaklah makhluk yang sempurna. Secanggih apa pun kita merahasiakan masalah, masih tidak secerdas cara bantal menangkap memori kepala kita. 

Ingatlah, ketika ia tidak memperoleh cerita dari Anda (sebab Anda malas berkeluh kesah mungkin, malas nge-dumel  di dalam kamar), ia tetap mampu menyerap masalah Anda. Di tengah kondisi pikiran sadar Anda sudah mati, Anda bermimpi buruk (tentang masalah yang sedang Anda alami mungkin), dan dengan akhirnya bantal Anda tahu problem yang sebenarnya ingin Anda rahasiakan dari siapa pun itu.

Kenyataannya bantal menyerap masalah kita tidak hanya dalam kondisi sadar saja, namun ia juga pandai mencuri rahasia kita dalam kondisi unconscious. Maka kepada siapa lagi kita akan berbicara kesempurnaan, kecuali bantal Anda tetap akan memegang kartu hidup Anda.

Mungkin Lee Jin-Gyu tidak ingin bantalnya membeberkan kartu keburukannya. Sehingga atas dasar inilah ia selalu memesan dua porsi makanan (untuknya dan bantalnya) serta tidak lupa mendudukkannya tepat di sampingnya di jam-jam makan siang mau pun malam.

Kita memang bukan makhluk sempurna. Sebab semakin pandai kita merahasiakan sesuatu, semakin banyak benda mati yang menyimpan tabungan masalah kita. Lalu kalau Lee Jin-Gyu berani menikahi bantalnya, apakah Anda juga akan melakukannya? Sebuah ide bagus untuk sejarah hidup Anda.

Yogyakarya, 25 Desember 2012
Begitulah, bantal memang bayang-bayang hidup Anda.
Night with Nattasha Nauljam (Thailand) song





Senin, 30 April 2012

Kalimat Hujan

Cerpen Naqib Najah

Aku tak pernah bermimpi peroleh hujan di kota ini. Ah, hujan yang syahdu: angin membelai pelan, rintik-rintik yang lembut. Kumohon jangan kau usik ketenanganku hari ini. Ketika gerimis menyetubuhi ingatanku. Membawaku pada sebuah perasaan. Tentang perempuan, tentang aroma debu yang basah oleh hujan.

Hay, inilah hujan Malioboro. Tempat penuh kenyamanan, kupeluk budaya santun di setiap sudutnya.
Mengapa hujan selalu membawa seseorang kepada masa lalu. Seperti derit kereta api yang mengembalikan segala ingatan menuju kenangan. Maka kupenuhi pikirku dengan wajah seorang perempuan. Perempuan tengah baya yang biasa aku panggil ibu. Ya, dia memang ibuku. Sosok yang pernah kusobek liang kewanitaannya. Aku menangis, aku lahir dari balik rahim perempuan yang kini sulit sekali kulihat senyum bibirnya.
Ibu selalu mengajariku untuk berdo’a di tengah hujan. Anggapnya, “rintik hujan akan berubah menjadi malaikat?” malaikat? Aku sulit mempercayai hal itu. Berulang kali ibu mengungapkan hal itu, berulangkali pula aku menolak.
“Ah, ibu bercanda. Manamungkin rintik-rintik berubah menjadi malaikat?” bantahku.
Benar. Menurut guru agamaku, malaikat itu terbuat dari cahaya. Bukan air. Lebih-lebih tanah. Namun, Ibuku selalu tersenyum mendengar bantahanku itu. Senyum yang, ah, menimangku dalam ranjang ketenangan.
Ketika aku sampai pada usia sepuluh tahun, barulah aku tak membantah apa yang ibu ucapkan. Aku manggut-manggut. Aku percaya bahwa rintik-rintik bisa berubah menjadi malaikat. “Ya, aku sekarang percaya, bu!” demikian ungkapku. Ibu masih saja seperti dulu. Tersenyum, kemudian mengelus rambutku yang kumal. Jika ibu menangkapku dalam rangkul seperti itu, maka siap-siaplah aku tertidur. Memejamkan mata sampai kemudian aku bangun oleh serbuan nyamuk.
Ternyata kedewasaanku bukan menjadi sebuah keberuntungan. Aku yang selalu ingat dengan kalimat ibu itu, selalu saja mencari alasan mengapa rintik-rintik itu berubah menjadi malaikat. Ungkapku ketika itu, “jika rintik yang sebegitu banyaknya berubah menjadi malaikat, mampuslah kita!” ya, mampus. Bukankah malaikat selalu ditugaskan Tuhan menjadi saksi kelakuan manusia. Rintik-rintik senantiasa menyebar ke mana-mana: menembus genteng yang bocor, memenuhi ranting jambu air, jatuh di segala permukaan. Maka malaikat berada di sudut manapun. Dan mereka akan mengawasi apapun yang kita perbuat.
“Ibu, aku takut dengan rintik-rintik!”
Barulah ibu kaget. Ia tak tersenyum, tidak pula merangkulku dengan hangat. Mengapa harus takut, tanya ibu sedikit ragu. Aku tak menjawab. Aku hanya menggeleng-geleng. Lantas lari menuju kamar, aku sembunyi di balik tumpukan bantal. Kugelar selimut, maka tak terlihatlah tubuhku dari atas.
“Ada apa?” seraya tersenyum, dilemparkannya pertanyaan itu kepadaku.
“Aku takut dengan rintik-rintik.“ aku keluaran kepalaku. Sedikit mirip dengan seekor kura-kura yang sembunyi di balik tempurungnya. “Kata ibu rintik-rintik berubah menajdi malaikat. Aku takut, bu! Aku takut malaikat mencatat amalku!”
Ruangan kecil itu penuh dengan tawa ibu. Tertawalah yang renyah, ibu. Sebab aku adalah lelaki yang selalu merindu senum seorang perempuan.
Semestinya ibu tak perlu menertawakan kalimatku yang konyol itu. Sebab memang benar, malaikat selalu mencatat amalku. Sumpah, aku selalu dirundung kecemasan jika berada di sudut rermang-remang.
Aku tak pernah bermain di belantara hujan. Sebab aku takut, maka aku tak suka dengan lari-lari menendang bola di bawah rintik-rintik. Entah mengapa, hujan tak pernah menjadi kegemaran bagiku. Dan selalu aku memanjatkan do’a kehadirat Tuhan, supaya secepat mungkin meredakan rintik-rintik itu.
Siapa yang suka menari di bawah hujan? Ajarilah aku. Tariklah kedua lenganku supaya aku tak mengerucut sendiri di dalam kamar.
***
Aku menemukan sosok yang mengajariku untuk bermain dengan hujan. Ibu. Ya, dialah perempuan yang menawarkanku untuk menari ketika hujan. Ia lemparkan kepadaku sebuah bola. Aku tendang. Aku lari dengan riang. Ibu mengajariku, bahwa hujan tak perlu ditakuti. Hujan adalah kasih Sang Pencipta. Maka wajar saja jika sekarang aku sering tersedu manakala mendengar suara hujan membentur atap-atap. Suara yang nyaring. Suara yang membuatku tertegun sendiri.
“Berdoalah ketika hujan. Bisa jadi, doa kamu akan terkabulkan!” benarkah? Kembali aku sedikit tak percaya. Ibuku memang aneh, dan aku adalah orang pertama kali yang menolak ajarannya. Mengapa hujan disangkut-pautkan dengan ijabahnya sebuah do’a?
“Hujan akan mengantaran do’amu kehadirat yang kuasa!”
Maka hujan tiada beda pak pos yang selalu membawakanku selayang surat dari seorang paman. Ah, hujan. Jika benar seperti itu kedudukanmu, maka aku titipkan selayang do’a. Haturkan kepada Sang Pencipta supaya aku menjadi lelaki yang tak pernah takut dengan kemiskinan, begitu aku berdo’a.
Akhirnya aku selalu merindu datangnya hujan. Aku tunggu mendung. Aku tunggu angin yang bertiup besar.
Aku tak lagi bermain air sewaktu hujan. Aku tak keluar rumah, aku tak berlari-lari menjemput hujan. Aku lebih suka berdiam diri di dalam kamar. Sambil mendengar suara rintik-rintik yang menatap genteng-gentng rumahku, sambil kuhaturkan selaksa doa. Tuhan-Tuhan-Tuhan, aku takut kemiskinan. Seperti juga kematian, aku selalu menakuti kedua hal itu.
Mungkin kau akan menganggapku sinting jika aku berdoa kehadirat Tuhan, memintanya supaya mengabadikan hidupku. Membuang kematian dalam sejarah hidup. Ya, sinting sekali diriku. Bibirku yang kotor ini, suka mendoa supaya hidupku adalah hidup yang abadi. Seperti cerita seorang alkhemis, seperti cerita sebatang pohon yang menyaksikan kehidupan ini sampai beratus-ratus tahun.
Dan Tuhan tak mengabulkan permohonanku. Sampai kemudian, aku dan pohon adalah sebuah cerita tersendiri. Tuhan menjodohkan kematianku dengan sebuah pohon:
Aku yang mulai tak pernah takut dengan hujan, aku yang sedang berkendara santai menuju rumah. Hujan begitu lebat. Hujan yang mengundang petir, hujan yang meributkan semua orang untuk segera berteduh. Namun, ibuku selalu menanamkanku untuk mencintai hujan. Maka tak perlulah aku berteduh. Kukendarai motor dengan penuh penghayatan. Dalam batin, aku mengucap dua buah doa. Dua pengharapan yang tak pernah lain: aku ingin hidup menjadi orang kaya, aku ingin hidup selama-lamanya.
Aku menganggap hujan ketika itu adalah tangis Yang Maha Kuasa. Aku yakin, dan berani sekali aku bersumpah atas kebenaran hal itu. “Sang Pencipta sedang menangis.” Teriakku dalam hati. Atau mungkin marah? Ah, apa bedanya orang yang menangis dengan orang yang sedang dirundung amarah. Bukankah air mata adalah ujung dari sebuah amarah? Seperti hikayat seorang peri yang pernah ibu ceritakan. Ya, sesosok peri pernah menangis sejadi-jadinya. Tangis yang amat syahdu, tangis yang membuat rerumputan ikut merunduk. Peri itu tak juga selesai dari tangisnya. Sampai kemudian datang seekor jalak, ditanyalah, “mengapa ibu peri menangis?” Ibu peri tak peduli dengan kehadiran burung itu. Malah, ia semakin banyak mengeluarkan air matanya. Jadilah air mata itu sebuah sungai, sebuah danau, sebuah laut. Ya, menurut ibu, laut tercipta berkat tangis seorang peri. “Ibu peri menangis sebab menahan amarah dalam batinnya.” Begitu tutur ibu.
Rintik-rintik hujan menjebakku. Aku tak melihat siapa di hadapan. Sedang detak jantungku masih mengucap do’a, menghaturkan dua permohonan yang katamu sinting itu.
Tuhan, aku ini tak mau miskin. Aku tak mau mati. Sebab kematian adalah perpisahan yang menarik-narik perasaanku. Menempa seorang hamba di bawah luka yang panjang. Dan perpisahan seperti itulah yang selalu kubenci. Perpisahan yang sulit mempertemukan seseorang.
Lebih baik aku pergi bertahun-tahun di negeri orang. Dan suatu saat kembali lagi kekediaman. Namun, kematian tak pernah menggariskan seperti itu. Kematian, ah, hikayat tangis yang kuharap menjauh dari kehidupanku.
Petir semakin mengutuk jiwa manusia. Angin bertiup kencang, memilah ujung dedauan, dan mampuslah aku. Kau tahu, saudara, pohon besar yang  tentunya berumur lebih panjang dariku itu, tumbang. Terdengar bunyi yang mengagetkan. Bukan petir, bukan pula suara motor menabrak tiang. Itulah suara pohon. Pohon yang besar. Pohon yang mendoyong. Doyong lagi. Menebas kabel listrik yang panjang. Menindih dirikku yang masih mengucap do’a, “Tuhan, aku tak mau tertimpa mati!”
***
Aku tak pernah bermimpi peroleh hujan di kota ini. Ah, hujan yang syahdu: angin membelai pelan, rintik-rintik yang lembut. Kumohon jangan kau usik ketenanganku hari ini. Ketika gerimis menyetubuhi ingatanku. Membawaku pada sebuah perasaan. Tentang perempuan, tentang aroma debu yang basah oleh hujan, tentu.
Hay, inilah hujan Malioboro. Tempat penuh kenyamanan, kupeluk budaya santun di setiap sudutnya.
Mengapa hujan selalu membawa seseorang kembali kepada masa lalu. Seperti derit kereta api yang mengembalikan segala ingatan menuju kenangan. Maka kupenuhi pikirku dengan wajah seorang perempuan. Perempuan tengah baya yang biasa aku panggil ibu.
Namun, aku lebih suka menyebut hujan sebagai cerita masa lalu. Sebagai akhir dua buah do’a yang selalu kupanjatkan itu.
Maka, jika hujan turun, kumohon kau hadir di pemakamanku. Hujan, kata ibu, adalah rintik-rintik yang menghaturkan do’a seorang hamba kehadirat Tuhannya.
***
Yogyakarta, 11 November 2008

Anak Panah

Cerpen Harris Effendi Thahar

Untuk yang kesekian kalinya Nyonya Rakusni menanyakan tentang kemajuan studi Agus di Bandung, putra Anisah, ketika Anisah menerima beberapa liter beras untuk jasa mencuci pakaian. Anisah yang kelihatan lebih tua dari usianya itu tampak begitu gelisah.

Perasaan, sudah hampir tujuh tahun. Biasanya, empat atau lima tahunan harus sudah lulus. Putri saya si Mira saja yang baru tiga tahun, sudah mulai skripsi tuh,” tutur Nyonya Rakusni dengan lobang hidung mengembang.

Anisah hanya menunduk dan pamit segera. Suaminya yang sakit-sakitan sudah lama menanti kedatangannya membawa beras untuk makan siang yang sudah begitu terlambat. Hatinya gundah. Mendung di pelupuk matanya seperti hendak tumpah.

Sudah lebih setahun ia tak mampu lagi membeli pulsa untuk hand phone penyambung komunikasi dengan Agus di Bandung. Jangankan untuk beli pulsa, dapat mengirimkan uang bulanan saja untuk Agus ia sudah bersyukur. Belum lagi untuk memenuhi kebutuhan sekolah Gadis yang kini sudah duduk di Tsanawiyah. Tapi, ia juga menyesalkan Agus, mengapa ia tak mengirim surat sekadar mengabarkan bahwa uang kiriman ibunya sudah diterima melalui rekening bank?

“Barangkali ia sudah jadi bandit. Tidak usah kau kirim-kirim juga uang. Anak apa itu? Durhaka!” begitu kalau suaminya berkata kalau Anisah mengeluh tentang kekurangan uang untuk dikirim ke Agus.

“Janganlah Uda berkata begitu. Ia darah daging kita. Siapa tahu kelak nasibnya baik. Setidaknya, dia bisa hidup mandiri, tidak miskin seperti kita.”

Sekitar enam tahun lalu kebahagiaan Anisah sekeluarga seperti berada di puncak. Putra sulungnya Agus Budiman lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri terkemuka di Bandung. Tak satu pun waktu itu tamatan SMA di kampung itu yang lulus UMPTN>sup<1>res<, kecuali Agus Budiman, putra Anisah, penjual lontong pecal di pinggir pagar sekolahan Tsanawiyah. Ayahnya hanyalah seorang satpam pabrik kecap di dekat pasar kecamatan yang sering kambuh penyakit asmanya. Orang-orang memuji Anisah. Banyak orang kaya di kampung itu ingin membantu, terutama yang punya anak perempuan sejodohan Agus.

Tak ada hari libur bagi Anisah, hari Minggu pun ia bekerja sebagai tukang cuci di beberapa rumah. Ia perlu banyak uang untuk biaya sekolah putra kebanggaannya itu. Ia tak dapat mengharap banyak pada suaminya yang tiap sebentar harus berobat ke puskesmas. Sudah divonis dokter sebagai penderita asma akut, toh suaminya itu tidak mau berhenti merokok. Berapalah gaji satpam yang sering mangkir seperti dia? Untuk uang jajan sekolah Gadis, adik Agus saja, suaminya tak mampu.

“Tak usah kau pikirkan berapa ongkos berangkat si Agus ke Bandung itu. Aku yang nanggung, tanda ikut gembira dan bersyukur. Dia kebanggaan kampung itu. Satu-satunya pemuda kampung ini yang bisa masuk ITB,” kata Nyonya Rakusni ketika Minggu itu Anisah mencuci di rumah itu.

“Terima kasih, Nyonya. Nanti saya usahakan mengembalikan uang Nyonya.”

“Oo, tidak begitu. Itu gratis. Cuma, biaya bulanan, kau pikirkanlah sendiri. Ya? Ngerti ndak?”

“Iya, ya. Terima kasih banyak Nyonya. Nyonya baik sekali.”

Kampung yang terletak di dataran tinggi subur itu dilatari oleh sawah-sawah luas yang menghasilkan panen melimpah sepanjang tahun. Akan tetapi, peninggalan orangtua Anisah tidaklah seberapa. Itu pun disewakan saja pada petani kacang tiap tahun karena suaminya tak sanggup mengolah sawah. Nyonya Rakusni adalah pemilik sawah terluas di kampung itu. Orang-orang memanggilnya Rangkayo, suatu panggilan kehormatan bagi orang yang dermawan. Meski sebenarnya ia bukanlah dermawan dalam arti yang sesungguhnya, melainkan seorang rentenir. Sudah tiga orang putrinya menikah, semuanya dijodohkan dengan pedagang. Tapi, untuk si bontot Mira, ia ingin bermenantukan orang sekolahan semisal Agus Budiman.

Tahun-tahun pun berlalu mengikuti musim. Jejak Agus pun diikuti oleh pemuda-pemuda lulusan SMA di kampung itu, yakni bersekolah di tanah Jawa, terutama di Bandung, meskipun bukan di perguruan tinggi negeri. Di musim libur, mereka pulang ke kampung membawa cerita-cerita dan angin perubahan dari tanah seberang. Kecuali Agus, ia tak pernah pulang libur karena menghemat ongkos.

Dari para mahasiswa pulang kampung itulah Anisah tahu bahwa Agus di Bandung begitu sibuk dan menjadi orang penting.

“Susah ketemu dia. Dia itu sibuk. Kadang-kadang diskusi, panitia seminar, latihan drama, baca puisi, bahkan kadang-kadang jadi koordinator demo,” kata seseorang.

“Kadang-kadang ia juga ke luar kota, ke Jogja, Solo, begitu,” kata yang lain.

“Baru-baru ini ia ikut sarasehan para penyair muda di pedalaman Solo,” kata yang lain lagi. “Khabarnya dia dekat dengan penyair Apridjal Malano.”

Anisah bingung mendengarkan penjelasan anak-anak muda itu. Ia tidak habis pikir, mengapa mahasiswa begitu banyak kegiatannya?

“Apa itu penyair? Tukang ramal gunung meletus?”

“Bukan Bu. Itu Mbah Bromo. Penyair itu pujangga yang menulis puisi.”

“Apa dia dapat gaji?”

“Maksud Ibu?”

“Ya, kalau dia sibuk apa tadi? Diskusi, seminar, membuat sair-sair? Itu ada imbalan uangnya?”

“Tergantung.”

“Tergantung di mana?”

“Maksud saya, pandai-pandai Bang Agus. Kalau dia pandai-pandai, tentu ia dapat uang.”

“Tapi, Ibu selalu kirim dia uang tiap bulan,” seperti berkata pada dirinya sendiri sambil merenungkan betapa capainya ia bekerja mengumpulkan uang sedikit-sedikit. Ternyata, Agus harus mencari uang tambahan lagi… Itu berarti uang kirimannya tiap bulan tidak mencukupi biaya kuliah Agus. Ia menyalahkan dirinya. Tiba-tiba ia seakan mendapatkan inspirasi untuk bertanya sesuatu yang lebih penting.

“Kapan Agus tamat kuliah dan jadi insinyur?”

Anak-anak muda itu berpandangan satu sama lain sambil mengangkat bahu. Salah seorang berinisiatif untuk meredakan kegundahan Anisah. Dengan senyum mengambang ia pun berkata.

“Bu, sebaiknya ibu datang ke Bandung. Kalau Ibu tidak cukup uang beli tiket pesawat, bisa naik bus Lintas Sumatra. Cuma dua malam, kok. Jadi, Ibu bisa lihat kesibukannya. Sekalian melepas rindu.”

“Tapi saya tidak tahu alamatnya. Saya belum pernah ke Jawa.”

“Gampang. Nanti kita pergi sama-sama. Dua minggu lagi.”

Melalui gang-gang berliku, Anisah sampai di kamar kos putranya Agus Budiman di bilangan perkampungan padat dekat kampus sebuah perguruan tinggi di Bandung. Ia diantar pagi itu setelah lelah dihempas dan dibanting-banting goncangan bus di jalanan buruk Lintas Sumatra dua hari dua malam oleh salah seorang mahasiswa yang bersedia memandunya di perjalanan. Kamar Agus terkunci. Tak ada tanda-tanda kehidupan di kamar itu. Dengan pertolongan pemilik rumah kos, Anisah berhasil masuk ke kamar pengap berukuran dua kali tiga meter itu.

Perempuan ringkih itu ingin berbaring, melepas lelah dipukul rindunya yang terpendam. Akan tetapi kamar itu mirip gudang yang sudah lama ditinggal pemiliknya. Semuanya berantakan dan penuh debu. Tumpukan buku, kertas-kertas coretan, bungkus rokok, koran di segala sudut, kasur lecet yang terlipat, gelas-gelas bekas kopi, sendal butut, dan setumpuk pakaian kotor. Poster-poster terkelupas di dinding yang lembab dirangkai jelaga dan jaring laba-laba yang sesekali bergerak lemah ditiup angin dari lubang udara. Di balik pintu, bergelantungan celana jin robek dan jaket bau keringat petualang.

Tanpa sempat mengusik kecentangperenangan itu, Anisah terduduk di samping lipatan kasur tanpa alas, merenungkan wajah putra kebanggaannya itu. Dari doanya yang paling dalam, ia berharap Agus tiba-tiba muncul. Diyakin-yakinkannya hatinya, karena tadi salah seorang mahasiswa tetangga kamar kos Agus berjanji mencoba menghubungi Agus lewat sms. Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar.

“Bu, maaf Bu. HP Mas Agus agaknya tidak aktif. Saya sudah beberapa kali mengontaknya. Tapi, Ibu jangan khawatir, kadang-kadang larut malam, ia muncul tiba-tiba. Kalau Ibu perlu apa-apa, ketuk saja kamar saya di sebelah,” mahasiswa baik hati itu berkata.

Anisah tertidur dalam posisi meringkuk. Ia terlalu lelah setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh, yang belum pernah dialaminya seumur hidup. Ia bermimpi Agus datang. Agus langsung bersimpuh mencium kakinya. Lalu bercerita tentang gadis Sunda yang cantik calon istrinya. Tapi, wajah Nyonya Rakusni segera muncul dalam mimpinya dengan setumpuk kalimat yang menyengat.

“Kalau Agus sudah tamat insinyur dan mau menikah dengan Mira, ongkos perjalananmu ini gratis. Tapi kalau tidak, cukup kau bayar dengan cicilan. Jangan lupa, bunganya sepuluh persen.”

Anisah terbangun ketika tiga orang mahasiswa, teman-teman sekosan Agus datang mengetuk pintunya. Senja turun di Bandung dengan suhu menggigilkan Anisah yang mulai merasa tua. Anak-anak kos yang baik itu bermurah hati membersihkan kamar Agus dan membawakan makanan. Mereka menghibur Anisah dengan keramahan orang-orang terpelajar.

“Kalau Mas Agus belum datang juga, Ibu jangan khawatir. Anggaplah kami anak-anak Ibu sendiri,” kata salah seorang.

“Mas Agus itu senior kami di sini. Ia orang baik. Sekarang ia sudah jadi penyair. Kalau tidak salah, ia pernah bilang mau ke Bali.”

“Ke Bali? Di mana itu? Apa dia punya ongkos?”

“Malah ada yang bilang, Mas Agus diundang ke Rotterdam baca puisi,” kata yang lain.

“Ibu jangan khawatir, dia punya banyak teman.”

“Apa jadi penyair itu berarti dia sudah bekerja? Apa dia sudah insinyur?”

“Jadi penyair tidak perlu insinyur dulu, Bu. Penyair itu profesi. Ya, pekerjaan juga.”

“Tolong antarkan Ibu ke kantor penyair, mau ya? Ibu perlu ketemu dia. Ibu tidak mungkin lama-lama di sini. Ayahnya Agus sakit-sakitan. Sebentar-sebentar, kambuh asmanya.”

Tiga mahasiswa itu terdiam. Mulai mengerti dan paham.

Di malam yang ketujuh, cukup sudah jantung Anisah dirobek-robek rindu. Agus tak kunjung muncul. Ia ingin segera pulang esok harinya. Malam itu ia ingin menulis surat untuk ditinggalkan agar dibaca Agus kalau ia pulang ke sarangnya. Ia ingin menulis panjang-panjang, tentang banyak hal, termasuk tentang Mira gadis bungsu Nyonya Rakusni yang menunggunya. Akan tetapi ia tak sanggup menuliskan semuanya, kecuali: “Ibu rindu sekali ketemu, Gus. Sayang kamu entah di mana. Jadilah anak yang saleh, Gus. Doakan ibu dan ayahmu selalu, ya. Sakit ayahmu parah.”

Perjalanan panjang menempuh medan berat Lintas Sumatra dihadangnya tanpa persiapan uang makan di jalan. Hanya kasihan oranglah yang membantunya. Anisah hanya banyak minum air di tempat-tempat perhentian yang akhirnya mengantarkan dirinya dengan selamat ke kampungnya, di kaki Gunung Talang. Akan tetapi, ia tidak menjumpai suaminya di rumah. Ayah Agus dirawat inap di rumah sakit kabupaten sepeninggal Anisah.

Hari kesepuluh Ayah Agus dirawat di rumah sakit kabupaten, terlihat semakin parah. Anisah dan Gadis tampaknya sudah pasrah. Saat itulah surat Agus datang. Isinya pendek saja dan tak sepenuhnya dimengerti oleh Gadis maupun ibunya Anisah.

“Bacakan surat itu, Dis. Apa kata anak durhaka itu?” ujar ayahnya tersendat-sendat.

Gadis memandang ibunya, seakan minta persetujuan. Anisah mengangguk. Gadis pun membacanya dengan gaya seorang deklamator.

“Anakmu bukanlah anakmu, ia hanya busur panah mesti kau lepaskan. Aku sudah lama bukan kanak lagi. “

Ayahnya terdiam. Anisah bungkam dan air matanya menghujan. Gadis membaca doa dengan hati teriris. Ayah Agus sudah pergi tanpa pesan apa-apa, seperti tidak terjadi apa-apa, setelah jiwanya melesat bagai anak panah yang lepas dari busurnya.

Kimpul

Cerpen Sori Siregar

Awan hitam merangkak pelan. Awan seperti itu setiap hari mengancam pada musim hujan dan merupakan isyarat tak lama lagi hujan akan mencurah deras. Curah hujan belakangan ini memang tinggi. Banjir dan genangan air kemudian menyusul di beberapa tempat.

Kimpul belum bergerak dari tempat duduknya. Sejak pukul delapan pagi hingga pukul dua belas tengah hari itu belum seorang pun singgah dan meminta jasanya. Biasanya, ia baru bergerak setelah hujan rintik-rintik turun dan berlari jika rintik-rintik air itu bertambah besar. Terkadang ia terpaksa siap untuk basah kuyup karena hujan deras mendadak turun tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk berlindung di tempat berteduh.

Tempat berteduh yang nyaman bagi Kimpul adalah Stasiun Besar di seberang jalan raya yang jaraknya kira-kira tiga puluh meter dari tempatnya bekerja. Ke sanalah ia berlari dan berlindung selama hujan mencurah. Berlari dan berlindung seperti itu setiap hari harus dilakukannya selama musim hujan. Jika hujan tidak lagi berderai Kimpul kembali ke tempatnya semula, menunggu siapa saja yang membutuhkan jasanya.

Kimpul masih menunggu dan berharap. Mudah-mudahan ada orang yang singgah ke tempatnya walaupun hanya satu orang karena selama dua hari belakangan ini tidak seorang pun menyapanya dan duduk di kursi di depannya. Ia menatap toko-toko buku baru dan buku bekas yang berjejer tidak jauh di depannya, toko-toko yang menghambat pemandangan ke lapangan di belakangnya. Dulu, semua toko buku itu tidak ada dan setiap orang yang berada di Stasiun Besar, yang sedang melangkah atau berkendaraan di jalan raya atau berdiri di tempat Kimpul duduk saat itu, dengan leluasa dapat melihat lapangan di belakang toko-toko buku itu.

Di keempat sisi lapangan rumput itu terdapat parit yang membatasi lapangan dengan lahan kosong yang lebarnya lima belas meter di sekeliling lapangan. Tidak sedikit orang lalu lalang di lahan kosong ini, karena di sana banyak gerobak yang menjual makanan dan minuman. Para penumpang kereta api dari luar kota yang turun di Stasiun Besar umumnya makan dan minum di lahan kosong ini.

Pada tengah hari, para penjual obat kaki lima berteriak-teriak berkampanye di lahan kosong yang teduh di bawah kerimbunan pohon-pohon besar yang telah puluhan tahun berdiri di sana. Semua penjual obat berlomba memamerkan kehebatan mereka berorasi agar pengunjung yang melingkar di sekitar mereka mau membeli obat yang mereka jajakan. Dan, setiap orasi pastilah memuji kemujaraban obat. Begitu orasi selesai biasanya ada saja pengunjung yang langsung membeli obat mereka.

Masih erat melekat dalam ingatan Kimpul bahwa seorang penjual obat kaki lima itu berhasil meningkatkan diri menjadi bintang film. Semula ia hanya menjadi figuran dalam film ”Lewat Jam Malam” yang disutradarai Usmar Ismail. Ia kelihatan beberapa detik di layar putih, karena hanya berperan sebagai orang yang harus berjalan kaki dari sebuah pintu ke pintu lain yang jaraknya hanya tujuh meter. Tapi, setelah itu ia muncul dalam beberapa film lain sebagai pemeran utama. Hebat si Djoni, ujar Kimpul kepada dirinya sendiri.

Begitu cepatnya keadaan berubah, Kimpul membatin. Dulu, lapangan luas itu selalu digunakan untuk tempat berbagai rapat umum dan upacara peringatan hari kemerdekaan sambil mendengarkan pidato Bung Karno. Ribuan murid sekolah SMP dan SMA diwajibkan hadir di sana untuk mendengarkan pidato berapi-api Pemimpin Besar Revolusi yang gagah itu.

Di selatan lapangan rumput itu terdapat hotel megah peninggalan penjajah Belanda. Kini hotel itu tidak kelihatan lagi karena telah berganti dengan gedung milik sebuah bank dengan lapangan parkir yang luas. Di utara lapangan, di Jalan Rumah Bola, terdapat sebuah tempat pertemuan orang-orang Belanda yang setelah kemerdekaan diberi nama Balai Prajurit. Balai itu sirna sudah karena di lokasi itu telah dibangun sebuah pusat perbelanjaan yang senantiasa rampai pengunjung.

Kimpul merasa perubahan terjadi begitu cepat tanpa menyadari bahwa ia telah empat puluh tahun menjual jasanya di pinggir lapangan itu sejak berusia dua puluh lima tahun. Karena kondisi yang berubah ini, nasib Kimpul turut berubah. Kalau dulu banyak orang yang satu profesi dengan Kimpul bekerja di bawah pohon rindang di pinggir lapangan, kini hanya dia dan seorang lagi yang masih menawarkan jasa di sana. Kalau dulu tanah kosong yang mengelilingi lapangan terasa teduh karena beberapa pohon rimbun berdiri kukuh di sana, kini tanah kosong itu lenyap sudah karena seluruhnya ditelan ruko-ruko yang beroperasi hingga malam hari. Cahaya matahari langsung jatuh di toko-toko buku itu, karena sebagian pohon telah ditebang.

Sekarang, lahan kosong pun semakin sempit. Di lahan kosong yang sempit itulah Kimpul dan seorang temannya membuka praktik sebagai pemotong rambut yang lazim disebut tukang pangkas. Dengan hanya bermodalkan sebuah kursi lipat, sebuah cermin yang diikatkan ke sebuah tiang, seperangkat alat pemotong rambut yang dibawanya di sebuah tas kecil yang kumuh dan sebotol air, ia siap melayani siapa saja. hingga menjelang magrib.

Awan hitam yang merangkak tidak lagi kelihatan. Hujan juga tidak jadi berkunjung. Hari kembali cerah hingga sore hari. Kimpul masih menunggu. Ternyata tidak ada orang yang ingin meminta jasanya untuk memangkas rambut. Ketika magrib memperlihatkan wajahnya, Kimpul mengambil cermin dari tiang yang dipancangnya, mencabut tiang itu, melipat kursi yang sejak pagi didudukinya, mengambil tas kumuh yang berisi alat-alat cukur dan membuang air yang tersimpan dalam botol. Setelah itu dengan mengayuh sepeda ia pulang tanpa memperoleh uang sepeser pun seperti dua hari sebelumnya.
***

Ketika Kimpul terangguk-angguk karena mengantuk, ia mendengar seseorang memanggil namanya. Ia segera membuka mata dan berdiri. Seorang lelaki muda berusia sekitar tiga puluh lima tahun berdiri di depannya sambil tersenyum. Ia menyilakan laki-laki itu duduk di kursi lipat yang sebelumnya didudukinya. Kimpul menduga laki-laki itu akan memotong rambut. Laki-laki itu menolak dengan sopan dan tetap berdiri.

”Pak Kimpul, kan?” kata lelaki muda itu bertanya.

”Benar, saya Kimpul”.

”Masih kenal saya, Pak?”

Kimpul menatap laki-laki itu, memperhatikannya dan mencoba menggali ingatannya. Ia tidak berhasil. Karena itu ia menggeleng dengan sopan.

”Saya Dasuki.”

”Dasuki?” Kimpul kembali mencoba membangunkan memorinya. Sekali lagi ia tidak berhasil.

”Tidak apa-apa, Pak, kalau tidak ingat. Maklum peristiwanya sudah lama sekali. Lima tahun. Cukup lama memang.”

Kimpul semakin tidak mengerti semua yang diucapkan laki-laki itu. Jangan-jangan dia salah alamat. Mungkin saja yang dicarinya memang Kimpul, tapi Kimpul yang lain. Laki-laki yang menyebut namanya Dasuki itu tidak ingin melihat wajah Kimpul yang bengong seperti itu.

”Lima tahun lalu saya pangkas di sini. Pak Kimpul yang memotong rambut saya. Ketika Bapak akan mencukur janggut, kumis dan cambang saya, tiba-tiba turun hujan deras. Saya menyambar sepeda motor dan segera memacunya ke stasiun itu untuk berteduh,” katanya sambil menunjuk ke arah Stasiun Besar. Kimpul mendengarkan dengan serius.

”Saya melihat Pak Kimpul berkemas dan membawa semua peralatan Bapak ke stasiun. Cuma, karena banyak orang di sana, saya benar-benar tidak tahu di mana persisnya Pak Kimpul berteduh. Hingga hujan berhenti dan semua orang meninggalkan emper stasiun, saya juga tidak melihat Pak Kimpul. Karena saya harus segera kembali ke kantor, saya tidak kembali lagi ke tempat Bapak bekerja. Saya langsung pergi dengan janggut, kumis dan cambang yang belum dicukur. Saya buru-buru karena mempersiapkan kepindahan saya ke Jakarta dua hari setelah itu.”

Kimpul masih dengan tekun mendengarkan penjelasan orang yang bernama Dasuki itu.

”Lima tahun saya terganggu karena belum membayar ongkos pangkas rambut itu. Karena itu hari ini saya sempatkan ke sini, pada saat saya sedang bertugas ke kota ini. Saya ingin membayar utang saya itu.”

Begitu selesai mengucapkan kalimat itu ia mengambil uang dari sakunya dan menyerahkan Rp 100.000 kepada Kimpul. Karena Kimpul masih tidak memahami cerita laki-laki itu, ia diam saja dan tidak berani menerima uang yang diulurkan kepadanya. Dasuki memberikan uang itu ke tangan Kimpul dan menggenggamkannya.

”Permisi, Pak Kimpul, saya harus pergi sekarang untuk rapat. Kalau sempat saya akan datang lagi,” kata orang yang bernama Dasuki itu sambil melangkah pergi.

Kimpul merasa uang yang tergenggam di tangannya itu bukan miliknya. Ia pasti salah alamat, pikir Kimpul. Karena itu Kimpul buru-buru berjalan ke arah laki-laki itu pergi. Setelah itu ia berlari-lari kecil di keempat sisi lapangan, namun laki-laki tidak ditemukannya. Ia kembali ke tempatnya bekerja dengan napas tersengal-sengal. Kimpul benar-benar tidak tahu apa yang akan dilakukannya dengan uang Rp 100.000 di tangannya itu.

Ia berpikir keras dan menggedor ingatannya. Akhirnya ia sampai kepada kesimpulan bahwa semua yang diungkapkan laki-laki itu tidak benar dan tidak pernah terjadi. Ingatannya cukup kuat untuk mengetahui semua itu. Lalu mengapa ia memberikan Rp 100.000 sedangkan biaya pangkas lima tahun lalu cuma Rp 5.000. Kimpul bergumam, dari mana pula orang bernama Dasuki itu tahu namaku, padahal aku tidak pernah menyebutkan namaku kepada pelanggan karena memang tidak ada yang pernah bertanya.
***

”Bagaimana Das? Ketemu dengan orang yang kamu cari?”

”Tidak,” sahut Dasuki menjawab pertanyaan istrinya.

”Lalu bagaimana?”

”Aku mengelilingi lapangan itu. Hanya dua orang tukang pangkas yang aku temukan. Yang satu masih muda dan yang seorang lagi, aku rasa berusia lebih dari enam puluh tahun. Mungkin sekitar enam puluh lima tahun. Sebelum aku menghampiri orang tua itu aku bertanya dulu kepada penjaga toko buku bekas yang kumasuki sebelumnya. Dialah yang memberikan nama Kimpul itu kepadaku.”

Dasuki menunggu reaksi istrinya. Istri Dasuki menunggu kelanjutan cerita suaminya.

”Lalu aku datangi orang tua itu dan kuberikan Rp 100.000. Aku ceritakan alasan mengapa aku memberikan uang itu. Dia bengong dan mulanya tidak mau menerima uang itu. Tapi aku berikan uang itu kepadanya dengan menggenggamkannya. Setelah itu aku pergi dan berjanji akan datang lagi kalau aku masih punya waktu luang.”

”Kamu yakin bukan itu orang yang kamu cari?”

”Aku belum lupa wajah orang yang dulu memangkas rambutku. Pipinya kempot, kepalanya botak dan tubuhnya ceking. Aku melihatnya begitu aku selesai makan gado-gado yang enak di pinggir lapangan itu. Karena kasihan aku segera menghampirinya, duduk di kursi kayunya dan memintanya memotong rambutku. Padahal sebelumnya aku berniat memotong rambut di barber shop di sebelah kantorku. Hanya karena aku ingin makan gado-gado dulu makanya aku pergi ke pinggir lapangan itu, bertemu dengan orang tua itu, jatuh kasihan dan memintanya memangkas rambutku.”

Melihat Dasuki menceritakan hal itu dengan lancar istrinya tersenyum dan tidak bertanya apa pun. Dasuki yang merasa perlu memberikan penjelasan lebih lanjut.

”Orang yang kuberi Rp 100.000 itu berambut lebat, beruban dan tidak kurus. Tapi dengan memberikan uang itu aku merasa utangku telah terbayar.”

”Kamu yakin akan merasa tenang setelah membayar utang itu walaupun bukan kepada orang yang berhak menerimanya?”

Lama Dasuki menunduk dan terdiam. Kemudian ia menengadah dan menatap istrinya.

”Aku tidak tahu. Aku harapkan begitu.”


Jakarta, 20 Juni 2011

“Pakiah” dari Pariangan

Cerpen Gus Tf Sakai  
Bagi orang-orang di kampung itu, cerita tentang pakiah sudah jadi masa lalu. Ia tertinggal dalam surau-surau tua, di tebal debu kitab-kitab kuning yang berhampar-serak, dalam bilik-bilik garin yang daun-daun pintunya telah somplak.
Bagi orang-orang yang datang ke kampung itu, ia akan didengar dari mulut orang-orang tua atau tukang cerita, berbaur-biluh dengan kisah para pendekar yang dalam bahasa mereka disebut pandeka.
Pakiah dan pandeka, bagi mereka orang-orang Sitalang, memang hampir tak bisa dipisahkan. Bahkan tak jarang, untuk tak mengatakan hampir selalu, dua sebutan itu berada dalam tubuh yang sama. Seseorang menjadi pakiah ketika remaja, menjelma jadi pandeka atau pendekar ketika dewasa. Tentu saja pakiah bisa langsung dikenali, sementara pandeka, orang-orang yang berkemampuan silek (silat) tinggi itu, sering-sering bersembunyi di dalam diri.
Tentang bersembunyi di dalam diri, menurut Nek Minah, mereka sebetulnya juga serupa. Hanya karena tugasnya, pakiah harus berkeliling meminta sedekah dengan penampilan sama: memakai sarung, atau celana dasar, dengan baju koko. Berpeci, dengan buntie (buntal) atau kantung beras di tangannya. Siapa pun akan langsung mengenali bahwa itu pakiah. Akan tetapi, pandeka?
”Jangan terkecoh oleh tampak luar,” begitu kata Nek Minah kepada kanak-kanak atau cucu-cucunya. ”Seperti halnya pandeka, pakiah itu orang yang bisa menahan diri. Mereka meminta-minta bukan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain, melainkan untuk melatih dan menemukan sesuatu dalam diri mereka. Kerendahhatian. Kesabaran. Kalian bayangkan, coba, bagaimana perasaan kalian bila suatu kali orang bukan memasukkan beras, melainkan abu, ke kantong beras kalian?”
Dan lalu, Nek Minah akan melayangkan pandang ke mulut jalan, ke arah dari mana dulu saat ia kanak-kanak melihat pakiah itu muncul-datang, pergi-pulang, tetap dengan wajah tenang, bahkan seperti terang, walau tak mendapat sedekah apa-apa dari rumahnya. Mulut jalan itu, yang dulu kecil saja karena cuma jalan setapak, kini telah menjelma jadi mulut jalan besar yang langsung disambut oleh pekan (pasar) Sitalang. Betapa Nek Minah tak menyangka, rumahnya yang pada masa lalu adalah pinggir kampung dengan ladang dan belukar di mana-mana, kini menjelma jadi daerah cukup ramai dengan Jorong Sitalang pusat pekan-nya.
Dan, di pusat pekan atau pasar kampung itu, cerita tentang pakiah kembali bermula. Tetapi, siapa pula bakal menyangka, cerita itu, pada akhirnya, lebih jadi milik para pengemis?
***
Seperti biasa, setiap tahun bila Ramadhan tiba, pekan Sitalang akan mencapai puncak ramainya. Sayur-mayur atau palawija apa pun dari kampung sekitar, seakan hanya dibawa ke sana. Begitu pun pakaian, barang-barang sandang yang sebelumnya tak ada, tiba-tiba muncul dengan pedagang-pedagang bertenda. Mungkin karena terletak di antara dua kota, barang apa pun seperti singgah, seolah mencoba peruntungan Lebaran sebelum dibawa ke kota lainnya.
Di pusat pekan kampung semacam itu, keramaian kadang bisa tak terkira. Segala macam orang bisa ada, tak ubahnya seperti di terminal atau pasar induk di kota-kota. Mulai dari tauke, pedagang eceran, sampai pedagang tiban yang mengambil barang di sana dan menjualnya juga di sana. Mulai dari kuli angkat, tukang ojek motor, sampai preman pekan tukang palak, pun pencopet. Para perantau yang mudik atau pulang, juga sejenak berhenti di sana. Dan tentu, yang dari hari ke hari Ramadhan terus bertambah, adalah para pengemis.
Para pengemis ini, dari manakah mereka datang? Hanya dua-tiga orang yang bisa dikenali sebagai penduduk sekitar Sitalang, selebihnya tentu berasal dari kampung yang jauh. Bila mereka berasal dari kampung-kampung yang jauh, pukul berapakah mereka berangkat dari kampung mereka karena pagi sekali mereka sudah berada di Pekan Sitalang? Bila mereka berangkat malam sebelumnya atau sangat dini, kenapa mereka tak tampak lelah? Kecuali mimik memelas dan pakaian yang lusuh dan kumal, tak tampak masalah apa-apa pada diri mereka. Bahkan, galib kejadian, mereka bisa berkelahi dengan preman pekan tukang palak, walau selalu kalah.
Di tengah para pengemis seperti itu, munculnya dua pengemis remaja berpakaian sama, jadi tampak sangat mencolok. Pakaian mereka: celana dasar warna coklat dengan baju koko hijau muda. Berpeci hitam dengan buntalan dijinjing atau kadang disampir di pundak mereka. Ya, dua orang pakiah. Sudah dua hari ini mereka muncul di Pekan Sitalang. Tetapi ya, seperti Anda tahu, pakiah sudah jadi masa lalu. Maka orang-orang hanya heran tentang pakaian, tentang kerapian, dan tentang wajah yang bukan memelas, melainkan, walau terkesan lembut dan lemah, tampak bersih dan tenang.
Tetapi pula, tentu tak semua orang di Pekan Sitalang sudah tak kenal pakiah. Beberapa orangtua asli Sitalang yang berjualan di pasar itu adalah pengecualian. Dan di antara mereka yang tetap kenal ini, ada juga yang samar-samar mendengar bahwa di kampung tua bernama Pariangan, kampung yang dulu dipercaya sebagai tempat asal-usul nenek moyang mereka, telah sejak setahun ini berdiri sebuah pesantren. Dan, di antara yang samar-samar mendengar ini, ada yang kemudian samar-samar pula mendengar pendiri pesantren itu Inyiak Pakiah Babanso. Siapakah Inyiak Pakiah Babanso? Dulu, dulu sekali, bila Anda mendengar namanya, maka Anda akan menggigil.
***
Inyiak Pakiah Babanso adalah pendekar tanpa tanding. Pada masanya, tak seorang pun pandeka yang mau mencari gara-gara dengannya. Ia menguasai silek tuo dan sitaralak, dua aliran silat yang sangat efisien. Tak banyak gerak, tetapi mematikan. Ia juga tak tertanding dalam kecepatan kobek (ikat), tangkok (tangkap), dan kunci (mengunci sendi dan engsel), yakni kemampuan dasar yang menjadi gelek atau gerakan refleks dalam silat. Bila ada yang bertanya bagaimana Inyiak Pakiah Babanso bisa bergerak secepat itu, orang lain akan segera bilang, ”Hanya Tuhan yang tahu”.
Tetapi, entah bagaimana kemudian, orang-orang mendengar Inyiak Pakiah Babanso menghilang dari dunia silat. Samar-samar orang kemudian tahu, ia kecewa pada Orde Baru yang menjelmakan silek jadi tarian. Bukan soal tariannya, tetapi kepada sesuatu yang sengaja dipertunjukkan. Jadi, bila sekarang Inyiak Pakiah Babanso kembali muncul dan mendirikan pesantren di kampung tua Pariangan, itu sangat masuk akal. Otonomi daerah yang mengembalikan pemerintahan—tak terkecuali pendidikan—ke lembaga-lembaga lokal, telah menjadikan pesantren sebagai pilihan.
Di situlah, di pesantren tradisional, surau dan sasaran (gelanggang) silek menjadi dua hal utama. Siang hari para murid belajar kitab-kitab kuning seperti Nahu, Syaraf, Tafsir, Bayan, Maani, dan lain-lain di surau, sementara pada malam harinya mereka belajar silek di sasaran. Di antara itu, mereka menjadi pakiah, minta sedekah ke kampung-kampung. Menjadi pakiah, atau mereka sebut mamakiah, adalah kurikulum mental mendidik para murid menjadi orang yang sabar, tabah, papa, tiada.
Entah pada hari ketujuh, atau hari kedelapan munculnya dua pengemis remaja di Pekan Sitalang, terjadi kegemparan. Orang-orang mendengar preman pekan tukang palak kembali berkelahi dengan para pengemis. Karena sering terjadi, peristiwa itu mestinya hanya merupakan peristiwa biasa. Ia menjelma jadi heboh dan menggemparkan karena yang kalah kali ini adalah para preman tukang palak! Dan, sebetulnya, perkelahian itu, bukan pula antara preman pekan tukang palak dan para pengemis. Melainkan hanya antara preman tukang palak dan dua pengemis remaja. Begitulah sebuah peristiwa, di tengah pasar yang gaduh dan dengan begitu banyak mulut, tak lagi sampai sebagaimana kejadian sebenarnya.
Dan, kejadian yang sebenarnya itu, sebenarnya pula, sangat sederhana. Seorang preman tukang palak, dengan lebih dulu menggertak, merogoh buntal si salah seorang pengemis remaja. Tetapi, begitu tangan si preman tukang palak itu masuk ke buntal, mulut si preman segera terpekik. Di dalam buntal itu, entah bagaimana caranya, tangan si preman tukang palak telah dikunci oleh tangan si pengemis remaja. Si preman tukang palak itu melolong-lolong, tubuhnya tertekuk-tekuk, sampai terbungkuk-bungkuk, memohon-mohon meminta ampun agar tangannya dilepaskan. Hanya begitu saja kejadiannya. Tak lebih. Tetapi, kata orang-orang:
”Dua pengemis itu mengobrak-abrik kelompok Si Patai.”
”Si Patai sampai menyembah-nyembah agar dibiarkan pergi.”
”Pengemis super sakti!”
”Dari manakah para pengemis itu datang?”
Padahal bukan ’para’, karena cuma dua orang. Dan dua orang remaja itu bukan pengemis, melainkan pakiah. Seperti Anda sudah tahu, tentu bukan tak ada orang yang tak kenal pakiah di Pekan Sitalang. Dan juga bukannya tak ada orang yang tak tahu bahwa pakiah itu datang dari Pariangan. Tetapi soalnya, orang-orang yang tak tahu jauh lebih banyak, dan mereka yang tak tahu ini lebih ingin, dan senang, mendapati kenyataan ada pengemis yang begitu sakti, dan mereka lalu dengan rela memberikan apa pun untuk para pengemis ini. Maka, kemudian, bila Anda jeli mengamati apa yang terjadi di Pekan Sitalang, pemandangan ini akan sangat mungkin Anda dapati:
Seorang pengemis datang entah dari mana, masuk ke toilet umum atau mengendap-endap menyelinap ke dalam belukar, sejenak kemudian kembali muncul dengan pakaian beda: bercelana dasar dengan baju koko, berpeci dengan buntalan dijinjing atau disampir di pundaknya….
***
Begitulah Nek Minah jadi sering duduk di jendela. Dari rumahnya, memandang ke mulut jalan besar yang langsung disambut oleh Pekan Sitalang, Nek Minah bisa melihat bagaimana pakiah-pakiah itu datang, kembali muncul dari masa lalu. Seperti dalam ingatannya, dan seperti yang sering ia katakan kepada kanak-kanak atau cucu-cucunya, pakiah itu orang yang bisa menahan diri. Mereka meminta-minta bukan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain, melainkan untuk melatih dan menemukan sesuatu dalam diri mereka. Kerendahhatian. Kesabaran.
Nek Minah tersenyum. Senyum yang kian lebar, kian cerah saat melihat pakiah-pakiah itu semakin banyak. Sampai hari ini, tiga hari menjelang Lebaran, pakiah-pakiah itu bahkan tak lagi minta sedekah hanya di Pekan Sitalang, melainkan juga merambah ke rumah-rumah sekitar, dan satu-dua orang melangkah menuju rumah Nek Minah…. ***

Payakumbuh, 13 Agustus 2011

Bigau

Cerpen DAMHURI MUHAMMAD (Kompas, Minggu, 12 Agustus 2007)

Semenjak usianya genap 80 tahun, orang-orang Kampung Lekung berkeyakinan, ajal Kurai sudah dekat. Melihat tubuh ringkihnya terkulai letai di atas dipan usang tanpa selimut, barangkali tak akan habis baju sehelai, ia sudah mengembuskan napas penghabisan. Rimba persilatan tentu berkabung sebab kehilangan pendekar paling licin yang pernah ada di Kampung Lekung. Mungkin sudah tiba saatnya, lelaki yang seluruh bagian tubuhnya tahan bacok dan tak mempan peluru itu mewariskan ilmu silat tua, lebih-lebih mewariskan Rantai Celeng yang telah tertanam selama bertahun-tahun di dalam daging paha sebelah kirinya. Sebelum terlambat, sebelum mayatnya dibenam ke liang lahat, sebaiknya Kurai segera menentukan siapa yang pantas menjawab hak waris barang keramat itu.

"Harganya lebih mahal dari harga diri Kurai sendiri," begitu luapan kekesalan seorang cukong barang antik yang datang ke Kampung Lekung tapi ditolak mentah-mentah oleh Kurai.

"Bujuk tua bangka itu, agar mau mewariskannya pada salah seorang di antara kalian! Itu bila kalian tidak ingin melarat seumur-umur."

"Jaga mulutmu, kau bisa mati berdiri sepulang dari sini. Enyahlah! Itu kalau kau masih ingin melihat matahari besok pagi," gertak Candung, anak muda kampung Lekung, penguasa lahan parkir di kota kabupaten. Ia pulang menjenguk Kurai yang dikabarkan mulai sakit-sakitan.

"Sekali lagi kau meremehkan Kurai, kujamin kau pulang dengan hidung disumpal kapas."

Kurang tepat bila benda itu dinamai rantai, karena bentuknya bulat melingkar, hampir menyerupai cincin. Tapi, tidak patut pula disebut cincin, sebab diameternya terlalu besar untuk ukuran jari tangan manusia. Disebut rantai, mungkin karena orang-orang membayangkan bila logam menyerupai ring itu dihubungkaitkan dengan logam sejenis, dalam jumlah banyak tentu akan membentuk seutas rantai. Menurut para tetua kampung, Kurai berhasil menggondol Rantai Celeng seusai menyabung nyawa dalam pertarungan melawan celeng berbulu putih sebesar anak kerbau jantan yang keganasannya sudah menjadi kisah turun temurun. Binatang yang dipercaya sebagai raja celeng itu berkali-kali menubruk rusuk Kurai dengan kecepatan melebihi kemampuan celeng biasa. Bila kurang awas, taring sepanjang satu setengah jengkal itu tentu sudah menikam ulu hati dan membuat usus-usus Kurai berhamburan keluar. Semua jurus tangkis dikerahkan Kurai, sesekali tubuhnya terloncat ke atas dahan pohon jirak saat posisinya terdesak, kali lain ia berayun serupa siamang, lalu dalam sekejap mata sudah berdiri di atas punggung celeng tua yang tengah mengamuk itu. Kurai sengaja membuat bermacam-macam gerak tipu, memancing agar celeng terus menyerang, hingga tiba saatnya kehabisan tenaga. Dan benar, begitu serudukannya mulai melemah, sigap tangan Kurai merenggut logam kuning gelap berbentuk bulat melingkar yang tersangkut di salah satu taringnya. Ia berhasil merebut Rantai Celeng yang konon di situlah letak kekuatan celeng itu. Ini hanya satu serpihan cerita perihal kehebatan Kurai tatkala merobohkan raja celeng dan membuat pendekar itu tersohor sampai ke pelosok-pelosok.

Riwayat lain menuturkan, setelah Kurai menumbangkan binatang itu, ia belum sepenuhnya menguasai Rantai Celeng, karena tiba-tiba ia dihadang makhluk berperawakan ganjil. Meski masih menyerupai manusia, tapi tinggi badan makhluk itu hanya sepinggang Kurai dan kedua tumitnya menghadap ke depan, sedang jari-jari kakinya menghadap ke belakang, berkebalikan dengan bentuk kaki manusia biasa. Orang-orang menamainya; Bigau, makhluk jadi-jadian, penjaga babi-babi liar di hutan Kampung Lekung. Suatu masa di musim berburu, tak seekor babi pun ditemukan, ketajaman pengendusan anjing-anjing pemburu tak mempan melacak jejak. Tapi kegagalan itu dianggap lazim, para pemburu akan mempercayai bahwa gerombolan babi tengah disembunyikan oleh Bigau. Jadi, masuk akal bila seusai pertarungan paling melelahkan itu, Kurai dihadang Bigau, meski tak ada yang tahu apa yang terjadi setelah keduanya saling bersiap, pasang kuda-kuda. Orang-orang tergesa mengambil langkah seribu, ketakutan melihat rupa buruk Bigau yang sebelumnya hanya didengar dari cerita di kedai-kedai kopi.

Jangan dibayangkan Kurai membedah paha kirinya dengan pisau, lalu menanam Rantai Celeng di dalamnya, kemudian menjahit belahan itu kembali sebagaimana pekerjaan dokter bedah. Tidak! Kurai melakukannya tanpa mengeluarkan darah, lebih kurang seperti orang menanam susuk di salah satu bagian tubuh perempuan, tanpa harus merasakan perih dan sakit.

Mereka yang ingin memiliki Rantai Celeng tak mau pusing dengan urusan nama, apakah benda ajaib yang bikin Kurai jadi kebal itu layak disebut cincin ataukah rantai? Yang pasti, telah ada kesepakatan diam-diam, bahwa barang keramat yang kini bersarang di tubuh pendekar itu adalah benar Rantai Celeng. Kurai tidak hanya masyhur sebagai satu-satunya pewaris silat tua, tak hanya tangkas menangkis serangan musuh, lelaki yang tahan membujang sampai gaek itu juga kebal senjata, dan karena itu jurus-jurus tangkisnya tidak terlalu berguna lagi. Untuk apa menangkis serangan lawan, tiada senjata yang mempan lukai tubuhnya.

Suatu hari di musim petai, seorang anggota tim buru sergap melepas tembakan saat mengejar peladang ganja yang diduga bersembunyi di hutan tempat Kurai biasa mencari petai rimba. Kurai yang sedang terbungkuk-bungkuk mengumpulkan buah petai yang baru saja dipanjatinya dikira peladang ganja yang akan mereka ringkus, timah panas bersarang di kuduk lelaki itu. Tapi Kurai hanya merasa ditimpa kencing tupai, perlahan ada sesuatu yang terasa dingin di punggungnya, karena geli Kurai menyentuhnya. Ternyata cairan itu bukan kencing tupai, tapi peluru yang sudah leleh. Polisi berpangkat sersan mayor itu terbirit-birit seperti dikejar hantu, meremang semua bulu di badannya setelah menyaksikan peluru meleleh di punggung lelaki pemetik buah petai. Saat masih terengah-engah ia bersumpah tak bakal menginjakkan kaki di hutan celaka itu lagi. Sejak itu, orang-orang Kampung Lekung bebas membuka ladang ganja, sebebas menanam jagung atau tembakau. Para peladang membiarkan Kurai memetik daun ganja sepuasnya. Ia mau menggelek hingga mabuk tiga hari tiga malam pun mereka tak peduli. Nyatanya, seberapa pun banyaknya lintingan ganja digasak Kurai, tak sekalipun ia mabuk dibuatnya. Rupanya Kurai tak hanya kebal senjata, tapi juga kebal dari mabuk ganja.

"Rantai itu mau dibawa mati?" kelakar Candung, centeng lahan parkir yang selalu mengaku cucu Kurai lantaran kerap mengirimkan pendekar itu minuman keras murahan merek T.K.W, meski Kurai tak pernah teler dibuatnya. Menenggak minuman keras sama dengan berkumur-kumur tiap bangun pagi bagi Kurai. Rupanya ia tak hanya kebal senjata dan kebal mabuk ganja, tapi juga kebal dari mabuk minuman beralkohol, jangan-jangan juga kebal dari mabuk buah kecubung.

"Siapa yang bakal mewarisinya? Sebaiknya lekas diputuskan, agar kelak tidak jadi sengketa." bujuk Candung lagi.

"Aku masih menunggu!"

"Menunggu? Menunggu mati? Tidakkah cucumu ini orang yang beruntung itu?"

Kurai tak bergairah menjawab pertanyaan bodoh si cucu gadungan itu. Sejak mula ia mencium gelagat jahat Candung. Penguasa lahan parkir yang kabarnya sedang terancam oleh musuh-musuh bersengat itu tidak tertarik hendak berguru ilmu silat tua pada Kurai. Ia ingin mentahnya saja; kebal senjata, tahan celurit, tak mempan pistol. Selain akan membuat musuh-musuhnya bertekuk lutut, Candung hendak memperlebar sayap kekuasaan, bila perlu hengkang dari kota kabupaten, mencaplok lahan parkir di kota-kota besar. Tak perlu gamang bila Rantai Celeng sudah dalam genggaman.

Para kolektor barang antik belum sepenuhnya percaya kalau pendekar pemetik petai benar- benar memiliki Rantai Celeng, sebab rantai itu bukan sembarang peliharaan. Dalam setahun, sekurang-kurangnya tiga kali benda itu mesti didarahi dengan menyembelih kambing jantan di malam terang bulan. Penyembelihan dipersembahkan untuk Bigau, si penjaga celeng. Sekali syarat itu diabaikan, Rantai Celeng tiada bakal ampuh lagi, kekuatannya akan diisap Bigau. Bagaimana mungkin Kurai mampu melakukan tirakat penyembelihan tiga ekor kambing dalam setahun, sementara hidupnya hanya mengandalkan petai rimba yang kadang berbuah, kadang tak bersisa dimakan beruk. Kalaupun ia masih menyimpan Rantai Celeng, tentu keampuhannya sudah hilang, atau pendekar itu sudah menyerahkannya kembali pada Bigau. Tapi, dugaan itu tidak sepenuhnya benar. Mereka tidak pernah tahu betapa berterima kasihnya para peladang ganja pada Kurai. Selagi ia masih hidup, tak bakal ada yang berani membakar ladang-ladang mereka. Itu sebabnya, secara bergilir mereka menyediakan seekor kambing jantan bila tiba saatnya Rantai Celeng harus didarahi. Apa pun sanggup mereka lakukan demi kedigdayaan Kurai, orang yang telah membuat mereka seperti kejatuhan durian runtuh. Jangankan kambing jantan, kerbau jantan pun mereka sanggupi, asal ladang-ladang ganja aman dari kejaran.

****

Kurai mulai resah, bukan karena sesak napasnya kambuh, tapi karena teringat perjanjian dengan Bigau selepas perkelahian mati-matian puluhan tahun silam. Makhluk jadi-jadian itu memang tidak mampu merebut Rantai Celeng di genggaman Kurai, tapi Bigau mengancam, bila Kurai nekat menggondol Rantai Celeng, sawah-sawah di wilayah Kampung Lekung tidak akan bisa dipanen. Bila sawah-sawah mulai menguning, Bigau akan menghalau gerombolan babi liar guna mengobrak-abrik dan membucuti setiap rumpunnya. Buah padi akan ludes sebelum sempat dituai. Paceklik bakal menimpa Kampung Lekung dan tidak akan berhenti selama Rantai Celeng masih bersarang di tubuh Kurai. Itu sebabnya, para petani tidak bersemangat lagi menggarap sawah, mereka membuka lahan baru dalam hutan, menggarap ladang-ladang terlarang.

"Jadi, siapa orang yang beruntung itu?" tanya Candung lagi, kali ini penuh harap.

"Bigau!" balas pendekar gaek itu, dan tak lama kemudian sesak napasnya kambuh.


Kelapa Dua, 2007

Minggu, 29 April 2012

Sumbi Pada Suatu Hari

Cerpen M. Raudah Jambak (Harian Analisa, Minggu 29 April 2012)
Malam pekat. Bulan masih sembunyi di bilik awan. Laju kendaraan meluncur satu-satu. Perempuan itu masih berdiri, bersandar pada tiang traffic light. Samar-samar, dia masih mendengarkan suara orang mengaji dari puncak menara masjid. Ada pedih yang tergores di dadanya. Masih terngiang jerit tertahan anaknya yang melihat kepergiannya. Meronta dari pelukan Sumiati, ibu kosnya. Sesak dadanya, tapi dia harus pergi. Dia harus bekerja. Sudah tiga hari anaknya tidak menikmati susu.
Tadi pagi suhu tubuh anaknya memanas. Sampai terakhir tadi sebelum kepergiannya, suhu tubuh anaknya tidak juga turun. Malah cenderung naik. Dia tetap memutuskan untuk pergi.

Jika sudah seperti itu, acap kali dia memaki dirinya sendiri. Tidak pernah sekalipun terpikirkan olehnya akan menjadi seperti ini. Tidak pernah sekalipun dia bercita-cita menjadi seorang pelacur. Puih! Apalagi ketika wajah seorang lelaki yang pernah dicintainya, melintas begitu saja.

Kalau tidak karena lelaki itu, mungkin dia sudah menjadi direktris pada salah satu perusahaan cabang milik ayahnya. Kalau saja lelaki itu tidak membuat ulah, mungkin ayahnya juga akan menyerahkan perusahaan yang lain kepadanya. Apa daya dia terlanjur salah langkah. Dia lebih memilih lelaki itu daripada ayahnya.

"Kau harus tahu, Anakku," ujar ayahnya,"Rizal tidak sepadan untukmu. Kau anak orang terhormat, sedangkan Rizal?"

"Aku sangat mencintainya, Ayah."

"Lelaki yang selalu mengganggu rumah tangga orang lain. Lelaki yang selalu mengumbar nafsunya pada orang lain. Lelaki yang menghancurkan perusahaan kita, keluarga kita. Lelaki seperti itu yang kau pilih?!"

"Aku sudah membuat keputusan, Ayah."

"Baik. Kalau memang itu sudah tekadmu. Ayah juga akan membuat keputusan!"

Ayahnya tepaksa membuat keputusan. Dengan suara berat dan berwibawa, ayahnya terpaksa memberikan pilihan yang sulit. Memenjarakan lelaki itu, yang menghancurkan perusahaan ayahnya atau tetap menjadi bagian dari keluarga besar Sudirman, ayahnya. Apa, lacur. Dia lebih memilih lelaki yang jelas-jelas telah menghancurkan keluarganya. Sejak saat itu ayahnyapun secara tegas tidak lagi mengakuinya sebagai seorang anak. Dia tetap memutuskan untuk pergi.

Pernah sekali waktu, dia mengunjungi ayahnya yang sedang keadaan sakit keras. Itupun karena ibunya berkali-kali meneleponnya, memintanya untuk pulang. Ayahnya selalu mengigau menyebut namanya. Begitu ia sampai, bukan kerinduan yang dia rasakan, justru makian bertubi-tubi yang dia dapatkan. Padahal, dia telah menghiba-hiba bermohon untuk dimaafkan. Demi melihat kondisi kesehatan ayahnya yang semakin parah melihat kehadirannya, dia memutuskan untuk pergi. Dia pergi ditingkahi suara tangis ibunya yang memintanya untuk tetap bertahan. Dia memutuskan untuk tetap pergi.

Memang ada penyesalan mendalam. Hanya saja, tekadnya sudah bulat. Keputusannya tidak bisa diganggu gugat. Sepanjang perjalanan, dia renungi segalanya. Semua terasa gelap. Dia tidak menemukan jalan keluar. Persis seperti kelengangan jalan. Persis seperti kepekatan malam. Dia memutuskan untuk hidup bersama tanpa ikatan bersama Rizal, kekasihnya. Itupun karena janji Rizal akan menikahinya secara resmi, jika dia sudah mendapatkan pekerjaan.

Bersama Rizal, dia menyewa sebuah rumah sederhana. Dia bisa menerima. Selama menunggu Rizal mendapatkan pekerjaan, dia yang mengatasi uang sewa rumah. Termasuk segala kebutuhan hidup mereka berdua. Juga segala kebutuhan Rizal. Untunglah tabungannya lebih dari cukup. Ayahnya selalu memberikan apa yang dia inginkan. Sejak memutuskan hubungan keluarga ayahnya juga memutuskan segalanya. Termasuk urusan uang.

Hampir setahun mereka hidup bersama. Keresahan dan kebahagiaan semakin terasa tipis batasannya. Terutama ketika dia menyampaikan kabar gembira, dia sudah telat bulan. Sudah satu bulan mengandung calon anak mereka. Rizal terdiam. Rizal malah menyarankan, menggugurkan kandungan itu. Dia bertahan, sebab dia merasa bahagia. Rizal memberi solusi lain. Rizal meminjam uang lima puluh juta, untuk dibayarkan kepada sebuah perusahaan yang akan menerimanya bekerja, jika Rizal bisa menyetor uang sejumlah lima puluh juta.

Perempuan itu ragu, tetapi Rizal mampu meyakinkannya. Akhirnya, isi tabungan perempuan itu hanya menyisakan lima juta. Selebihnya berpindahtangan ke Rizal. Tak berpanjang kalam, Rizalpun segera meluncur ke perusahaan yang dia maksud. Dengan segala cinta dan doa, perempuan itu melepas Rizal. Entah karena waktu meluncur terlalu cepat atau karena hasrat yang tak terbendungkan, perempuan itu seperti tak sabar menunggu kabar berita dari Rizal.

Belum berbilang minggu, kabar tentang Rizalpun terdengar. Tubuhnya seperti hancur, sehancur-hancurnya. Lelaki yang melebihi segala hatinya, telah menikah dengan perempuan lain. Dengan seorang menejer perusahaan tempat rencana Rizal bekerja. Dia harus bertahan. Dia bertekad harus tetap bertahan hidup. Itu filosofi yang diajarkan oleh ayahnya. Bertahan hidup.

Malam pekat. Bulan masih sembunyi di bilik malam. Perempuan itu masih bersandar di tiang traffic light. Suara orang mengaji dari menara masjid, masih terdengar samar ditingkahi laju kendaraan yang meluncur satu-satu. Kebahagiaannya sempat membuncah ketika jerit lengking si bayi mungil di pelukannya. Sepeninggal Rizal, dia pindah dari kota J ke kota M. Bekerja di sebuah pabrik. Memutuskan cuti melahirkan. Menganggur menghabiskan simpanan setelah pabrik tempat dia bekerja tidak menerimanya lagi, dengan alasan yang tak jelas. Menghabiskan simpanan, setelah semua tempat menolak lamarannya. Mengatur semua kebutuhan dia dan anaknya.

Dia tidak pernah bercita-cita ingin seperti ini. Dia tidak pernah sekalipun berharap menjadi seorang pelacur. Puih! Karena lelaki itu. Bukan. Bukan karena lelaki itu. Demi anaknya, yang kini terbaring sakit. Anaknya yang menjerit tertahan melihat kepergiaannya. Dia harus pergi. Memutuskan untuk pergi.

Jujur, dia kikuk, ragu. Dia hanya memberanikan diri. Selama ini, dia masih tetap bisa bertahan walau mandor pabrik tempat dia bekerja dulu sempat memintanya menjadi istri simpanan. Memaksanya menikah siri. Memaksanya menjadi istri dengan janji menceraikan istri sahnya. Termasuk bertahan ketika sang mandor berusaha memperkosanya. Dia meyakinkan dirinya, Tuhan tak akan pernah meninggalkannya. Yakin Tuhan akan selalu menjaga dia dan anaknya.

Malam sepekat ini. Keyakinannya seakan buyar. Pertahanannya seakan ditembus peluru keraguan. Dia merasa Tuhan seakan membiarkannya. Sesamar suara orang mengaji dari menara masjid di ujung jalan sana. Segelap malam yang pekat. Sesunyi laju kendaraan yang meluncur satu-satu. Sepedih hatinya yang koyakmoyak. Sepanas suhu tubuh anaknya yang terbaring sakit. Dia lapar, haus. Tubuhnya gemetar.

Dalam beberapa kesempatan, dia belum juga memberanikan diri menawarkan diri. Mulai dari anak jalanan sampai lelaki hidung belang. Mulai dari penarik becak sampai pembawa gerobak. Dia juga belum berani mengiyakan beberapa tawaran dari laki-laki yang hobi jajan. Termasuk segerombolan lelaki yang berusaha memaksakan hasratnya.

Perempuan itu meronta. Perempuan itu memberontak. Gerombolan lelaki itu berusaha mendekap. Berusaha membekapnya. Dengan beringas gerombolan lelaki itu melucuti pakaian perempuan itu satu persatu, sampai akhirnya polos tanpa sehelai benangpun. Perempuan itu pasrah. Samar-samar dia masih mendengar suara mengaji dari menara masjid. Samar-samar terbayang wajah bayinya yang menjerit, ditingkahi suara tertawa penuh nafsu gerombolan laki-laki itu. Samar-samar wajah gerombolan lelaki itu tak lagi tampak olehnya. Yang ada hanya gelap pekat. Terdengar seperti suara letusan senjata api menggema di udara diselingi samar-samar suara orang mengaji dari puncak menara masjid di ujung jalan sana. Mung kin Tuhan belum sempat menjenguknya.

Perempuan itu tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Perempuan itu hanya tahu, dia sekarang berada di sebuah ruangan yang sangat menyenangkan. Serba putih. Aromanya begitu semerbak. Dia berada di atas sebuah tempat tidur yang begitu lembut dan bersih. Di sebelah kanan atas sebuah pesawat telepon. Tidak jauh dari arah kakinya di atas sebuah bufet, sebuah pesawat televisi. Perabotan lain yang berada dalam ruangan itu. Lengkap sangat lengkap.

Belum hilang keterkejutannya dengan suasana ruangan yang begitu nyaman. Dia terpesona dan takjub ketika melihat ke arah cermin. Seolah seorang putri tengah menatapnya. Ada perasaan malu bukan kepalang. Apalagi dibandingkan dengan kondisinya saat ini. Ketika dia melihat, ternyata perempuan dalam cermin itu adalah dirinya. Da lebih terkejut lagi. Ada rasa bahagia sekaligus sedih bersamaan. Bahagia karena akhirnya dia menjadi seorang putri. Sedih karena dia teringat anaknya. Perempuan itu merasa Tuhan telah menjeputnya. Tuhan telah menempatkannya di Surga.

Dia menari gembira di depan cermin. Dia berjanji suatu waktu nanti, dia akan mengunjungi anaknya. Belum sempat dia meluapkan kegembiraannya, sebuah ketukan keras di pintu mengejutkannya. Begitu dia bergerak hendak membuka pintu, seseorang telah masuk begitu saja. Sebelum dia mengeluarkan pertanyaan, dia mendengar sebuah perintah mengejutkan.

"Persiapkan dirimu. Layani Bos dengan baik!"

Perempuan itu tersentak, begitu dia menyadari situasinya, dia menangis sejadi-jadinya. Dia menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Telungkup. Terisak. Menghardik Tuhan. Memanggil nama anaknya. Memanggil nama ibunya. Memanggil nama ayahnya. Berteriak histeris. Aliran ketakutan seketika menjalar di nadinya. Terdiam tertahan, ketika sebuah bentakan seolah memecahkan telinganya.

"Diam!" nafas lelaki itu terdengar memburu,"Tak ada gunanya kau menangis. Kau milikku sepenuhnya. Tugasmu melayaniku. Tugasku merasakan kepuasan darimu..."

Perempuan itu terdiam. Dia merasakan aura penuh nafsu dari nafas lelaki itu. Di balik itu, dia begitu mengenal suara berat dan berwibawa dari laki-laki itu. Suara yang begitu dikenalnya selama bertahun-tahun. Mirip suara dari orang yang begitu melindungi dan menyayanginya. Mirip suara orang yang begitu menjunjung tinggi kehormatan. Segera dia membalikkan badan. Perempuan itu terkejut begitu mengetahui lelaki separuh baya yang ada di hadapannya. Bersamaan dengan itu, lelaki separuh baya yang nyaris bugil itu, lebih terkejut lagi.

"Sumbi?!"

Komunitas Home Poetry, 2011

sumber: http://www.analisadaily.com

Afrodit

Cerpen Wendoko (Koran Tempo, Minggu 15 April 2012)
IA melihat cahaya kemerahan. Ia melihat cahaya bergoyang goyang cepat, seolah sambar an lampu pijar. Cahaya yang merobek gelap, dan meninggalkan jejak. Cahaya yang menyorot ke kanan, dan kadang menghantam ke mukanya, menyisakan selaput katarak dalam noda-noda hitam. Kadang cahaya itu melambat, dan tinggal pendar-pendar kuning-limau atau jingga-pudar.

Lalu ia mendengar suara mengentak-entak. Suara yang menendang-nendang jantung, dan memukuli gendang telinga. Ia lalu memejamkan mata. Selama beberapa jeda ruangan itu gelap, dan ia menunggu sisa-sisa cahaya itu pudar dan tubuhnya lambat-laun diam. Tapi suara-suara makin keras. Ia mulai merasakan tekanan di dadanya, seolah urat darahnya pecah. Paru-parunya mengerut dan membuka, dan sekejap tampak lagi warna-warna cahaya yang menyambar.
Lalu ia teringat jari-jari tangannya menyentuh lutut perempuan itu. Lutut yang putih, mungkin karena efek cahaya. Mula-mula ia hanya menyentuh, tapi kemudian jari-jarinya menelusuri lekuk lutut yang seolah pahatan. Bergerak maju-mundur, lalu melingkar—dan perempuan itu tersengal. Tapi sengal itu tak bisa ia bedakan dari denyut nadi di telinganya. Otaknya serasa meleleh. Lalu gerakan itu merayap naik. Lalu tarikan napas ringan, dan beberapa saat ruangan terasa lebih dingin.
Waktu ia terbangun, perempuan itu masih terlelap. Perempuan yang ia lihat di kafe semalam. Perempuan yang, entah bagaimana, tahu ke mana ia pergi mengusir penat. Perempuan yang tahu di mana selama ini ia mengendapkan malam atau sekadar minum kopi. Perempuan yang bahkan tahu apartemen ini…. Perempuan berparfum Black Pearls. Tubuhnya ramping, kulitnya sangat bening, mata setengah mengantuk, dengan bibir kering tapi merah.
Dan ia baru saja berselingkuh. Tetapi apakah bisa disebut berselingkuh, jika setiba di apartemennya perempuan itu langsung tertidur? Apakah bisa disebut berselingkuh jika istrinya pergi hampir dua bulan lalu karena berselingkuh?
Tapi ia tahu perempuan itu bernama Eta.
 .
AKU juga pernah berselingkuh. Aku dinikahkan waktu masih muda, dengan lelaki paruh baya yang saban hari berkutat di bengkel lasnya. Lalu aku bertemu pengelana yang singgah dari bandar ke bandar. Suatu malam kami dipergoki, padahal waktu itu kami hanya berbaring di rerumputan bukit. Sejak itulah aku terusir….
 .
HARI itu tiga kali ia bertemu dengan perempuan yang sama. Pertama, ketika ia menuruni jalan berundak-undak memotong perbukitan di tengah rumah-rumah beratap nyaris datar. Waktu itu perempuan itu keluar dari pintu di tembok pagar, menoleh sekilas ke arahnya, lalu menuruni jalan. Kedua, di pintu art shop dekat pantai di bawah perbukitan. Ketika itu angin menderap, dan pasir di trotoar gemerisik di bawah sepatunya. Ketiga, di teras kafe waktu senja, ketika ia menyesap secangkir kopi di tengah debur ombak dan koak camar.
Waktu itu perempuan itu berjalan ke arahnya.
“Maaf….” Perempuan itu duduk, begitu saja.
“Aku baru mendengar cerita yang aneh, dan ingin cepat bercerita,” kata perempuan itu.
“Kenapa memilih aku, untuk mendengar cerita?”
“Entahlah. Kau bukan penduduk pantai….”
“Bukan. Aku pelancong yang singgah,” katanya.
Ketika itu matahari hampir tergelincir ke dermaga. Ada bilah-bilah cahaya di langit, berwarna kuning-pudar dan jingga di celah segumpal warna merah. Lalu ada kerlip berlian di muka laut, dan bayang-bayang yang menggantung di dermaga. Samar-samar angin meruapkan bau asin laut.
Ia memandang perempuan itu. Perempuan bertubuh ramping, kulitnya sangat bening, dengan mata setengah mengantuk dan bibir kering tapi merah. Perempuan itu juga bersuara serak.
“Apa yang perlu kudengar?”
“Ada hutan di perbukitan,” kata perempuan itu, “di atas rumah-rumah beratap nyaris datar. Kabarnya bunga-bunga bermekaran di hutan itu, tapi hanya tiga puluh hari dalam setahun. Bunga-bunga putih, yang sewaktu-waktu berubah ke warna merah….”
“Kenapa begitu?”
“Kabarnya, dulu ada peri mendiami hutan itu bersama kekasihnya, seorang pemburu. Lalu suatu hari si pemburu mati tertusuk cula babirusa. Jasadnya tertelan ke bumi, menyatu dengan akar-akar myrtle. Si peri, yang mendapat firasat buruk hari itu, menjelajah seisi hutan sampai kakinya tergores dan berdarah-darah. Waktu ia menemukan lembing kekasihnya, dan darah yang tercecer, ia pun menangis. Dan ajaib, bunga-bunga yang semula putih tiba-tiba berubah merah. Sejak itu, tiap bulan pertama musim panas, banyak pasangan kekasih yang datang ke hutan. Bercanda, tertawa. Dan jika ada pasangan yang patah hati, bunga-bunga putih akan berubah merah.”
Ia tertawa. Perempuan itu juga tertawa.
“Kau tak percaya?” tanya perem puan itu. “Atau, kau mau mencoba?”
“Tidak…. Eh, kau tak pesan minum?”
Teras kafe itu kosong. Hanya meja bulat dan kursi-kursi berjajar di lantai batu koral. Dari teras itu ia melihat perahu-perahu tertambat di dermaga, naik-turun terantuk ombak. Lalu perahu-perahu dan sekunar di lepas laut, yang mulai mendekat ke dermaga. Ada juga potongan tebing di sisi kiri, seolah menyeruak dari kilau air. Lalu ada deretan bangunan tiga-empat lantai berwarna pasir.
Langit sudah berubah abu ketika ia bangkit dari kursinya.
“Kau sudah mau pergi dari pantai?” tanya perempuan itu. “Bisakah kita bertemu nanti malam?”
Ketika itu lampu-lampu di teras kafe mulai menyala. Lampu-lampu di dermaga juga menyala. Angin menderas dari laut, yang berangsur-angsur gelap.
Ia tak jadi pergi. Lalu mereka berjalan di sekitar dermaga. Pantai itu tenang, meski debur ombak seolah ketukan ribuan batu di telinganya. Jendela-jendela kedai dan art shop, yang berderet sepanjang pantai, melontarkan cahaya kekuningan ke trotoar. Ia melihat sosok-sosok di trotoar—dan ada seorang pelari di tepinya. Dari dermaga, kelihatan gelap merentang di perbukitan, dan ada bintik-bintik lampu dari rumah-rumah beratap nyaris datar. Langit bersih, tapi malam itu angin agak kencang.
Perempuan itu berkata, “Kau mengingatkanku pada seseorang.”
“Siapa?”
“Aku tak ingat….”
Tapi ia tak percaya perempuan itu tak ingat. Agak malam mereka baru menaiki jalan berundak-undak. Kabut mulai mengurai, dan bulan membakar lubang keabuan di langit. Malam itu, di kamar perempuan itu, mereka bergelut. Tapi setelah beberapa saat ia sadar mereka tak menutup gorden jendela. Atau mereka sengaja membiarkan gorden terbuka, hingga cahaya bulan jatuh ke dinding dan lantai. Ada senyap yang ganjil di kamar itu, yang mengalir—meski mereka terus berbisik.Ada kata atau suara, tapi terjerat senyap—dan perlahan ia mencium anemone menyelinap ke harum bantal.
Pagi, ia bangun ketika perempuan itu masih terlelap. Pagi itu ia mengitari kamar yang sebetulnya paviliun, sampai ia tiba di jendela bergorden. Dan ia melihat perempuan itu duduk di ranjang, dengan selimut menutupi pinggang.
Perempuan itu memberi kode, lalu melambai….
Ia kembali ke pantai itu. Hari ini, setahun kemudian. Tapi ia tak menemukan perempuan itu di paviliun, di salah satu rumah di perbukitan. Barulah ia tahu perempuan itu juga pelancong, seperti dirinya. Ia juga singgah ke art shop dekat pantai—yang sudah kosong berikut bangunan-bangunan tiga-empat lantai di kiri-kanannya. Tetapi kafe itu masih ada. Dan ia masih melihat perahu-perahu dan sekunar di lepas laut. Masih mendengar debur ombak, koak camar, atau angin yang menderas. Atau melihat gumpalan merah dan bilah-bilah cahaya di langit, berwarna kuning-pudar dan jingga.
Di sanalah ia sekarang. Duduk di kafe, dan memandang ke dermaga. Saat ini ada dorongan untuk berjalan-jalan ke dermaga, untuk sekadar menyimak keciprat air atau suara perahu mengetuk-ngetuk tepi dermaga. Atau sekadar memandang ke rumah-rumah beratap nyaris datar di perbukitan, dengan bintik-bintik dan pendar lampu. Tapi hujan baru saja reda.
Eh, apakah perempuan itu punya nama? Satu-satunya yang ia ingat, setahun lalu perempuan itu memberi kode: namaku Eta….
Tetapi ia berpikir, apakah malam ini bunga-bunga di perbukitan akan berubah ke warna merah?
 .
AKU juga pernah punya kekasih, jauh hari sebelum aku dinikahkan. Kami tak direstui, dan terpaksa lari dan terasing di sebuah hutan. Kekasihku mati tertanduk babirusa waktu berburu. Aku bahkan tak menemukan jasadnya. Tetapi sekali ini, apakah aku akan mendapat kesempatan kedua….
 .
WAKTU ia terbangun, di apartemen itu hanya lengang, lengang yang pejal. Ranjang yang acak. Langit-langit buram. Dinding buram. Cahaya buram. Lantai yang buram.
Tapi di bibirnya masih ada rasa bibir perempuan itu. Tubuhnya masih menyisakan bau kulit perempuan itu. Seperti bau kaktus, atau getah daun. Seperti embun, atau campuran aroma bunga, atau guyuran musim panas. Tetapi waktu ia terbangun, perempuan itu tak ada di ranjang.
Dan ia teringat ketika perempuan itu menyentuh rambut-rambut halus di tengkuknya. Lalu melingkarkan lengan, dan melekatkan tubuh padanya. Ia teringat ketika perempuan itu menggeliat, sedikit berguling, dan tersengal. Secara naluriah, ia meraih kaki perempuan itu. Ia tak menyentak, atau bergerak terlalu cepat, tapi diam pada beberapa jeda dan perlahan mulai menemukan arah. Dan mereka bergelut seakan waktu mengempas, dalam cahaya terpetak-petak di ranjang. Mereka bergelut seolah menguapkan ruang, kenangan buruk, atau mungkin sebentuk realitas.
Lalu mereka sedikit menjauh. Punggung perempuan itu melengkung, seolah menahan getaran yang menggumpal. Getaran yang sama membuat matanya mengabut. Ia lalu menengadah, dan merasakan suara hujan di bawah jendela. Ia menengadah, dan mendengar suara roda mencipratkan genangan air ke pinggir jalan di luar jendela.
Setelah itu…. Setelah itu waktu yang tak berbatas menyurut, dan garis-garis tegas terbentuk. Tapi ia tak mau bangun. Ia ingin berbaring lebih lama, sampai matahari menguak—karena malam yang lambat dan pagi masih jauh. Di sampingnya perempuan itu menggeliat. Perlahan mulai menyapukan lidah….
Baru ia sadar, semalam ada cahaya di atas ranjang. Ada pohon tak berdaun di luar jendela, dengan ranting-ranting serupa pembuluh darah. Ada bulan buram yang berkubang di langit hitam. Perempuan itukah yang telah menutup tirai?
Ia bangun, dengan melilitkan selimut ke pinggang. Lalu menarik tirai. Cahaya berebut menyerbu ke ruangan itu, dan ia melihat patung di tengah ruangan. Patung perempuan telanjang sebatas pinggul. Kepala patung itu menengok ke kanan. Sedikit menunduk, rambut terurai, dengan sorot mata yang lembut dan mulut mengatup. Punggung patung agak melengkung dan bahunya menekuk. Lalu satu tangan menutup dada dan tangan lain menutupi pinggul.
Patung itu adalah replika perempuan yang semalam tidur di ranjang.
Ia menatap lebih lama. Ada seorang perempuan yang lima hari terakhir datang ke apartemennya. Perempuan yang ia temui di teras kafe waktu senja. Ia masih mengingat dengan jelas. Ketika itu cahaya baru melepas selimut jingga ke langit kota. Awan menggantung rendah. Ketika itu di pelataran depan kafe, beberapa merpati terbang dan hinggap. Angin menggetarkan pohon, dan mengembuskan daun kering ke pergelangan kakinya. Sedan yang lewat mendentumkan conga dan timbal dari balik jendela. Tapi angin juga mengangkut daun-daun ke tengah pusaran di bawah lampu-lampu jalan, berputar dua kali sebelum menyeretnya pergi.
Senja itu ia melihat perempuan itu, yang duduk tiga meja di depannya dengan chocolate croissant. Perempuan bertubuh ramping, kulitnya sangat bening, matanya setengah mengantuk, bibirnya kering tapi merah.
Lalu setelah beberapa menit ia pindah ke meja perempuan itu, dan berkata bahwa ia pematung.
“Aku sedang mengerjakan patung yang tak kunjung selesai,” katanya. “Kau mau menengok ke studioku? Atau kau mau menjadi model?” Perempuan itu diam beberapa jenak, mengamati dua merpati yang hinggap di satu meja. Lalu ada getar halus pada suara itu, waktu perempuan itu mengangguk.
Esoknya perempuan itu datang ke apartemennya. Apartemen bergaya kuno, dengan jendela panjang berkotak-kotak dan ubin Gustavino yang juga merangkap studio. Selama lima hari perempuan itu datang pada jam yang sama, tapi hanya tinggal selama satu jam. Hari pertama ia menuntun perempuan itu pada beberapa pose, sambil membuat coretan-coretan di kertas. Hari kedua ia meminta pose-pose yang lain. Hari ketiga perempuan itu pulang agak larut, tapi ia mulai mengerjakan kerangka dasar dari coretan-coretan di kertas. Hari keempat, struktur patung mulai terbentuk, dan ia meminta perempuan itu duduk di kursi tanpa sandaran—dengan kepala menengok ke kanan, agak membungkuk, satu tangan menutupi pinggul dan tangan lain menutup dada.
Tetapi mereka melewatkan tiap pertemuan itu tanpa bicara. Ada keheningan yang lalu membuat tuli, yang membungkus atmosfer di apartemennya–dan hanya disela tarikan napas, bunyi batuk, atau pensil menggores-gores di kertas. Keheningan yang merayap, dan pada satu titik apartemen itu terasa lebih dingin, dan ia menangkap tetesan-tetesan air ke baskom dalam jeda yang ganjil. Perempuan itu tak pernah bicara, tapi mengangguk waktu ia menerangkan soal patung telanjang. Perempuan itu juga tak bicara ketika ia meminta beberapa pose, yang nyatanya terus berubah. Perempuan itu juga tak bicara ketika ia mulai menyentuh leher, pundak, dada, dan pinggang. Ia menyentuh dengan lembut, seolah meraba tiap respon ototnya sebelum meremas-remas adukan gips yang basah.
Kadang ia berpikir perempuan itu memang tak mau bicara. Ia hanya tahu perempuan itu bernama Eta. Lalu pada hari kelima, tiba-tiba perempuan itu menyentuh tengkuknya, melingkarkan lengan dan melekatkan tubuh padanya. Waktu mereka bergelut di ranjang, barulah ia tahu perempuan itu bersuara serak.
Ia masih di depan patung itu. Tapi patung itu belum selesai. Ia masih harus memoles beberapa bidang atau lekukan. Mulai dari garis rambut, lengkung hidung dan mulut, tekstur leher dan punggung, bentuk pundak, jari-jari tangan, bulatan dada, cekungan pinggang….
Tapi ia tak tahu apakah perempuan itu akan datang hari ini.
 .
AKU mengenal seorang pematung yang jatuh cinta pada patung pahatannya. Patung dari batu pualam itu diberi nama: susu….
 .
LALU ia seolah menembus warna putih yang pekat. Seperti kabut, yang menggumpal-gumpal. Kabut yang merayapi dan mengaburkan kaca. Kabut yang memadat dan berbulir, sebelum meninggalkan bercak. Ia mendengar angin mengepak. Detak jam yang keras, seperti tongkat mengetuk di trotoar. Lalu ia seolah menginjak permukaan yang tak rata, tersaruk-saruk melewati tonjolan atau lekukan. Kadang langkahnya tergagap, seperti berdiri di bidang yang basah. Matanya berkedut. Ia menarik napas, tapi gagal menetapkan arah. Beberapa kali ia menubruk sesuatu, yang mendadak muncul atau menyimpang di depannya. Ia tak bisa melihat, tapi sejak awal ia tak merasa tersesat. Lalu ia hanyut dalam keheningan, pada pendar cahaya halus yang bergoyang-goyang di tengah desau angin, atau napas terputus-putus yang berulang.
Mungkin keheningan, atau kekosongan, adalah semacam iluminasi dari kenyataan—baginya.
Lalu ia melihat nyala lilin. Cahaya kuning-pucat yang berderit. Lilin itu bergetar meredup dan menyala seolah mengusik gelap. Keheningan juga menyelusup ke bilah api, tapi bilah api terguncang dan lelehan lilin membelok ke dalam cawan. Ada suara meretih, seperti gerit pada lantai kayu papan. Ada kilasan angin, dan pada beberapa detik ia kehilangan satu-dua derajat suhu tubuhnya.
Terakhir, ia melihat badai pasir mengamuk di gelas bir. Lalu ia melihat buih mendesis pada gelas separuh terisi.
Pagi itu ia bangun di sebuah ruang yang putih-hitam, dalam gradasi hitam. Ada jendela memanjang ke samping, dengan kaca-kaca gelap dan bingkai hitam. Ada langit-langit putih mendatar, dan cermin yang memantulkan patahan dan isi ruang: dipan hitam, seprei putih yang acak, jambangan dengan bunga-bunga bergaris hitam, sisa kertas berserakan dari keranjang….
Tetapi waktu ia bangun, perempuan itu sedang mengusap-usap ujung rambutnya.
“Kau akan mengingat usapan ini, ruang ini, cermin itu… namaku Eta!” (*)
 .
.
Wendoko telah menerbitkan, antara lain, buku-buku puisi Oratorio (edisi kedua, 2011) dan Selected Poems (2010).
.
.