Cerpen Harris Effendi Thahar
Untuk yang kesekian kalinya Nyonya Rakusni menanyakan tentang kemajuan studi Agus di Bandung, putra Anisah, ketika Anisah menerima beberapa liter beras untuk jasa mencuci pakaian. Anisah yang kelihatan lebih tua dari usianya itu tampak begitu gelisah.
Perasaan, sudah hampir tujuh tahun. Biasanya, empat atau lima tahunan harus sudah lulus. Putri saya si Mira saja yang baru tiga tahun, sudah mulai skripsi tuh,” tutur Nyonya Rakusni dengan lobang hidung mengembang.
Anisah hanya menunduk dan pamit segera. Suaminya yang sakit-sakitan sudah lama menanti kedatangannya membawa beras untuk makan siang yang sudah begitu terlambat. Hatinya gundah. Mendung di pelupuk matanya seperti hendak tumpah.
Sudah lebih setahun ia tak mampu lagi membeli pulsa untuk hand phone penyambung komunikasi dengan Agus di Bandung. Jangankan untuk beli pulsa, dapat mengirimkan uang bulanan saja untuk Agus ia sudah bersyukur. Belum lagi untuk memenuhi kebutuhan sekolah Gadis yang kini sudah duduk di Tsanawiyah. Tapi, ia juga menyesalkan Agus, mengapa ia tak mengirim surat sekadar mengabarkan bahwa uang kiriman ibunya sudah diterima melalui rekening bank?
“Barangkali ia sudah jadi bandit. Tidak usah kau kirim-kirim juga uang. Anak apa itu? Durhaka!” begitu kalau suaminya berkata kalau Anisah mengeluh tentang kekurangan uang untuk dikirim ke Agus.
“Janganlah Uda berkata begitu. Ia darah daging kita. Siapa tahu kelak nasibnya baik. Setidaknya, dia bisa hidup mandiri, tidak miskin seperti kita.”
Sekitar enam tahun lalu kebahagiaan Anisah sekeluarga seperti berada di puncak. Putra sulungnya Agus Budiman lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri terkemuka di Bandung. Tak satu pun waktu itu tamatan SMA di kampung itu yang lulus UMPTN>sup<1>res<, kecuali Agus Budiman, putra Anisah, penjual lontong pecal di pinggir pagar sekolahan Tsanawiyah. Ayahnya hanyalah seorang satpam pabrik kecap di dekat pasar kecamatan yang sering kambuh penyakit asmanya. Orang-orang memuji Anisah. Banyak orang kaya di kampung itu ingin membantu, terutama yang punya anak perempuan sejodohan Agus.
Tak ada hari libur bagi Anisah, hari Minggu pun ia bekerja sebagai tukang cuci di beberapa rumah. Ia perlu banyak uang untuk biaya sekolah putra kebanggaannya itu. Ia tak dapat mengharap banyak pada suaminya yang tiap sebentar harus berobat ke puskesmas. Sudah divonis dokter sebagai penderita asma akut, toh suaminya itu tidak mau berhenti merokok. Berapalah gaji satpam yang sering mangkir seperti dia? Untuk uang jajan sekolah Gadis, adik Agus saja, suaminya tak mampu.
“Tak usah kau pikirkan berapa ongkos berangkat si Agus ke Bandung itu. Aku yang nanggung, tanda ikut gembira dan bersyukur. Dia kebanggaan kampung itu. Satu-satunya pemuda kampung ini yang bisa masuk ITB,” kata Nyonya Rakusni ketika Minggu itu Anisah mencuci di rumah itu.
“Terima kasih, Nyonya. Nanti saya usahakan mengembalikan uang Nyonya.”
“Oo, tidak begitu. Itu gratis. Cuma, biaya bulanan, kau pikirkanlah sendiri. Ya? Ngerti ndak?”
“Iya, ya. Terima kasih banyak Nyonya. Nyonya baik sekali.”
Kampung yang terletak di dataran tinggi subur itu dilatari oleh sawah-sawah luas yang menghasilkan panen melimpah sepanjang tahun. Akan tetapi, peninggalan orangtua Anisah tidaklah seberapa. Itu pun disewakan saja pada petani kacang tiap tahun karena suaminya tak sanggup mengolah sawah. Nyonya Rakusni adalah pemilik sawah terluas di kampung itu. Orang-orang memanggilnya Rangkayo, suatu panggilan kehormatan bagi orang yang dermawan. Meski sebenarnya ia bukanlah dermawan dalam arti yang sesungguhnya, melainkan seorang rentenir. Sudah tiga orang putrinya menikah, semuanya dijodohkan dengan pedagang. Tapi, untuk si bontot Mira, ia ingin bermenantukan orang sekolahan semisal Agus Budiman.
Tahun-tahun pun berlalu mengikuti musim. Jejak Agus pun diikuti oleh pemuda-pemuda lulusan SMA di kampung itu, yakni bersekolah di tanah Jawa, terutama di Bandung, meskipun bukan di perguruan tinggi negeri. Di musim libur, mereka pulang ke kampung membawa cerita-cerita dan angin perubahan dari tanah seberang. Kecuali Agus, ia tak pernah pulang libur karena menghemat ongkos.
Dari para mahasiswa pulang kampung itulah Anisah tahu bahwa Agus di Bandung begitu sibuk dan menjadi orang penting.
“Susah ketemu dia. Dia itu sibuk. Kadang-kadang diskusi, panitia seminar, latihan drama, baca puisi, bahkan kadang-kadang jadi koordinator demo,” kata seseorang.
“Kadang-kadang ia juga ke luar kota, ke Jogja, Solo, begitu,” kata yang lain.
“Baru-baru ini ia ikut sarasehan para penyair muda di pedalaman Solo,” kata yang lain lagi. “Khabarnya dia dekat dengan penyair Apridjal Malano.”
Anisah bingung mendengarkan penjelasan anak-anak muda itu. Ia tidak habis pikir, mengapa mahasiswa begitu banyak kegiatannya?
“Apa itu penyair? Tukang ramal gunung meletus?”
“Bukan Bu. Itu Mbah Bromo. Penyair itu pujangga yang menulis puisi.”
“Apa dia dapat gaji?”
“Maksud Ibu?”
“Ya, kalau dia sibuk apa tadi? Diskusi, seminar, membuat sair-sair? Itu ada imbalan uangnya?”
“Tergantung.”
“Tergantung di mana?”
“Maksud saya, pandai-pandai Bang Agus. Kalau dia pandai-pandai, tentu ia dapat uang.”
“Tapi, Ibu selalu kirim dia uang tiap bulan,” seperti berkata pada dirinya sendiri sambil merenungkan betapa capainya ia bekerja mengumpulkan uang sedikit-sedikit. Ternyata, Agus harus mencari uang tambahan lagi… Itu berarti uang kirimannya tiap bulan tidak mencukupi biaya kuliah Agus. Ia menyalahkan dirinya. Tiba-tiba ia seakan mendapatkan inspirasi untuk bertanya sesuatu yang lebih penting.
“Kapan Agus tamat kuliah dan jadi insinyur?”
Anak-anak muda itu berpandangan satu sama lain sambil mengangkat bahu. Salah seorang berinisiatif untuk meredakan kegundahan Anisah. Dengan senyum mengambang ia pun berkata.
“Bu, sebaiknya ibu datang ke Bandung. Kalau Ibu tidak cukup uang beli tiket pesawat, bisa naik bus Lintas Sumatra. Cuma dua malam, kok. Jadi, Ibu bisa lihat kesibukannya. Sekalian melepas rindu.”
“Tapi saya tidak tahu alamatnya. Saya belum pernah ke Jawa.”
“Gampang. Nanti kita pergi sama-sama. Dua minggu lagi.”
Melalui gang-gang berliku, Anisah sampai di kamar kos putranya Agus Budiman di bilangan perkampungan padat dekat kampus sebuah perguruan tinggi di Bandung. Ia diantar pagi itu setelah lelah dihempas dan dibanting-banting goncangan bus di jalanan buruk Lintas Sumatra dua hari dua malam oleh salah seorang mahasiswa yang bersedia memandunya di perjalanan. Kamar Agus terkunci. Tak ada tanda-tanda kehidupan di kamar itu. Dengan pertolongan pemilik rumah kos, Anisah berhasil masuk ke kamar pengap berukuran dua kali tiga meter itu.
Perempuan ringkih itu ingin berbaring, melepas lelah dipukul rindunya yang terpendam. Akan tetapi kamar itu mirip gudang yang sudah lama ditinggal pemiliknya. Semuanya berantakan dan penuh debu. Tumpukan buku, kertas-kertas coretan, bungkus rokok, koran di segala sudut, kasur lecet yang terlipat, gelas-gelas bekas kopi, sendal butut, dan setumpuk pakaian kotor. Poster-poster terkelupas di dinding yang lembab dirangkai jelaga dan jaring laba-laba yang sesekali bergerak lemah ditiup angin dari lubang udara. Di balik pintu, bergelantungan celana jin robek dan jaket bau keringat petualang.
Tanpa sempat mengusik kecentangperenangan itu, Anisah terduduk di samping lipatan kasur tanpa alas, merenungkan wajah putra kebanggaannya itu. Dari doanya yang paling dalam, ia berharap Agus tiba-tiba muncul. Diyakin-yakinkannya hatinya, karena tadi salah seorang mahasiswa tetangga kamar kos Agus berjanji mencoba menghubungi Agus lewat sms. Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar.
“Bu, maaf Bu. HP Mas Agus agaknya tidak aktif. Saya sudah beberapa kali mengontaknya. Tapi, Ibu jangan khawatir, kadang-kadang larut malam, ia muncul tiba-tiba. Kalau Ibu perlu apa-apa, ketuk saja kamar saya di sebelah,” mahasiswa baik hati itu berkata.
Anisah tertidur dalam posisi meringkuk. Ia terlalu lelah setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh, yang belum pernah dialaminya seumur hidup. Ia bermimpi Agus datang. Agus langsung bersimpuh mencium kakinya. Lalu bercerita tentang gadis Sunda yang cantik calon istrinya. Tapi, wajah Nyonya Rakusni segera muncul dalam mimpinya dengan setumpuk kalimat yang menyengat.
“Kalau Agus sudah tamat insinyur dan mau menikah dengan Mira, ongkos perjalananmu ini gratis. Tapi kalau tidak, cukup kau bayar dengan cicilan. Jangan lupa, bunganya sepuluh persen.”
Anisah terbangun ketika tiga orang mahasiswa, teman-teman sekosan Agus datang mengetuk pintunya. Senja turun di Bandung dengan suhu menggigilkan Anisah yang mulai merasa tua. Anak-anak kos yang baik itu bermurah hati membersihkan kamar Agus dan membawakan makanan. Mereka menghibur Anisah dengan keramahan orang-orang terpelajar.
“Kalau Mas Agus belum datang juga, Ibu jangan khawatir. Anggaplah kami anak-anak Ibu sendiri,” kata salah seorang.
“Mas Agus itu senior kami di sini. Ia orang baik. Sekarang ia sudah jadi penyair. Kalau tidak salah, ia pernah bilang mau ke Bali.”
“Ke Bali? Di mana itu? Apa dia punya ongkos?”
“Malah ada yang bilang, Mas Agus diundang ke Rotterdam baca puisi,” kata yang lain.
“Ibu jangan khawatir, dia punya banyak teman.”
“Apa jadi penyair itu berarti dia sudah bekerja? Apa dia sudah insinyur?”
“Jadi penyair tidak perlu insinyur dulu, Bu. Penyair itu profesi. Ya, pekerjaan juga.”
“Tolong antarkan Ibu ke kantor penyair, mau ya? Ibu perlu ketemu dia. Ibu tidak mungkin lama-lama di sini. Ayahnya Agus sakit-sakitan. Sebentar-sebentar, kambuh asmanya.”
Tiga mahasiswa itu terdiam. Mulai mengerti dan paham.
Di malam yang ketujuh, cukup sudah jantung Anisah dirobek-robek rindu. Agus tak kunjung muncul. Ia ingin segera pulang esok harinya. Malam itu ia ingin menulis surat untuk ditinggalkan agar dibaca Agus kalau ia pulang ke sarangnya. Ia ingin menulis panjang-panjang, tentang banyak hal, termasuk tentang Mira gadis bungsu Nyonya Rakusni yang menunggunya. Akan tetapi ia tak sanggup menuliskan semuanya, kecuali: “Ibu rindu sekali ketemu, Gus. Sayang kamu entah di mana. Jadilah anak yang saleh, Gus. Doakan ibu dan ayahmu selalu, ya. Sakit ayahmu parah.”
Perjalanan panjang menempuh medan berat Lintas Sumatra dihadangnya tanpa persiapan uang makan di jalan. Hanya kasihan oranglah yang membantunya. Anisah hanya banyak minum air di tempat-tempat perhentian yang akhirnya mengantarkan dirinya dengan selamat ke kampungnya, di kaki Gunung Talang. Akan tetapi, ia tidak menjumpai suaminya di rumah. Ayah Agus dirawat inap di rumah sakit kabupaten sepeninggal Anisah.
Hari kesepuluh Ayah Agus dirawat di rumah sakit kabupaten, terlihat semakin parah. Anisah dan Gadis tampaknya sudah pasrah. Saat itulah surat Agus datang. Isinya pendek saja dan tak sepenuhnya dimengerti oleh Gadis maupun ibunya Anisah.
“Bacakan surat itu, Dis. Apa kata anak durhaka itu?” ujar ayahnya tersendat-sendat.
Gadis memandang ibunya, seakan minta persetujuan. Anisah mengangguk. Gadis pun membacanya dengan gaya seorang deklamator.
“Anakmu bukanlah anakmu, ia hanya busur panah mesti kau lepaskan. Aku sudah lama bukan kanak lagi. “
Ayahnya terdiam. Anisah bungkam dan air matanya menghujan. Gadis membaca doa dengan hati teriris. Ayah Agus sudah pergi tanpa pesan apa-apa, seperti tidak terjadi apa-apa, setelah jiwanya melesat bagai anak panah yang lepas dari busurnya.
0 komentar:
Posting Komentar