Cerpen A.S. Laksana (Jawa Pos, 15 April 2012)
PEREMPUAN itu menyebutnya kuda. Maka ia merasa dirinya sebagai kuda berbulu putih, kuda yang biasa ditunggangi oleh tokoh utama dalam film-film koboi: agak jinak, tapi pada saatnya bisa berlari tak kenal letih untuk menopang sang penunggang yang harus menyelesaikan tugas berat menghabisi para perampok dan lelaki-lelaki kasar. Ia menyukai gambaran diri yang seperti itu.
“Naiklah ke punggungku,” katanya.
Perempuan itu beringsut, merapatkan dirinya, seperti kucing menggesekkan bulu-bulunya ke kaki majikan. Perempuan itu menggeseknya. Dan ia masih membayangkan dirinya sebagai kuda jantan, putih dan tampan, dan berderap menyusuri padang terbuka. Dengan empat kaki perkasa yang meninggalkan kepulan debu di belakangnya, ia menjelajahi rumput-rumput dan kerikil-kerikil tandus. Suara orang-orang di ruangan judi terdengar sayup-sayup. Di ruangan lainnya, ia berderap menjauh, mengangkut seorang putri di punggungnya, sampai hilang semua suara.
Dinihari ia meninggalkan tempat itu dan tidak muncul pada beberapa malam berikutnya dan baru datang lagi ke sana dua minggu kemudian. Itu kunjungannya yang kedua dan itu kunjungan yang celaka. Alit merasa bahwa rumah judi itu tidak menyenangkan ketika malam kian larut. Ada seorang pendatang baru yang masuk ke ruangan dengan lagak yang akan membuat matamu pedih. Orang itu mengenakan pakaian mewah dan ia sungguh tidak pas dengan pakaian yang dikenakannya. Beberapa orang yang menyertainya menunjukkan tabiat terkutuk. Ketika orang berpakaian mewah itu menyelipkan rokok di bibirnya, tiga orang berebut menyalakan korek api.
Alit berharap nyala korek api membakar bibir empal lelaki itu. Dan kemudian lelaki itu marah lalu menghantamkan apa saja yang dipegangnya ke paras para penjilat yang menyertainya. Itu akan menjadi tontonan bagus di arena judi yang mulai terasa tidak menyenangkan.
Lelaki itu penjudi yang baik dan ia segera membuat beberapa orang bangkrut. Lalu perempuan itu muncul, mengenakan gaun yang terbuka hingga ke bagian lembah kedua gunungnya, dan ia merangkul lelaki itu. Alit merasakan nafasnya berat. Perempuan itu menyebutnya kuda dua pekan lalu dan Alit kembali ke tempat itu tetap dengan membayangkan diri sebagai kuda, tetapi perempuan itu seperti tidak melihatnya.
Situasi peperangan merambat pelan-pelan di ruangan, merambat di dada yang sesak. Alit mendengar ringkik setan di telinganya. Ia ingin sekali menjambak perempuan itu atau menarik pakaiannya hingga perempuan itu telanjang bulat. Perempuan itu tampaknya bangga dengan gunung-gunung yang menjulang di dadanya, dan ia suka sekali menggeser-geserkan puncak gunungnya ke lengan atau punggung si lelaki kaya, dan jari-jarinya terus memijit bahu lelaki itu.
Itu bukan pemandangan yang baik bagi lelaki yang mulai bangkrut. Alit menyandarkan punggungnya pada dinding dekat lukisan sembilan ikan di kolam teratai. Lukisan jelek yang konon bisa mendatangkan rezeki berlimpah di ruangan itu. Ia merasakan semak-semak tumbuh di dadanya, ia merasakan rumput-rumput liar dan tanaman berduri menyakiti jantungnya. Mestinya ia keluar dari ruangan itu sebelum dada dan jantungnya koyak-moyak oleh ilalang dan duri-duri yang meliar di dadanya.
Namun ia bertahan, mencoba menenteramkan diri sendiri dengan membuka kancing atas bajunya. Ruangan itu pengap, sesuatu yang tidak dirasakan oleh Alit pada kunjungan sebelumnya, dan asap rokok membuat matanya pedih. Perempuan bergunung menjulang itu membuatnya semakin pedih. Dua pekan lalu perempuan itu menggelendot di dadanya. Malam itu ia bergelayutan di lengan lelaki empal. Dan Alit baru saja bangkrut. Kau tahu, lelaki yang bangkrut di meja judi harus mau menerima nasib terburuknya. Ia bahkan tak bisa berbuat apa-apa terhadap orang di depan mata yang berkhianat kepadanya.
Ia mencoba menenteramkan diri dengan pikiran sekenanya bahwa seorang pengkhianat memang akan selalu berkhianat. Ia lari darimu dan menusuk punggungmu justru pada saat kau bangkrut dan tak berdaya.
Angin dari baling-baling ruangan seperti menghembuskan panas yang menyiksa. Baling-baling besar yang berputar mengeluarkan suara berderit-derit. Alit ingin sekali menyeret perempuan itu dan menggantungnya di sayap baling-baling. Pengkhianat yang memedihkan mata, kau tahu, pantas diperlakukan apa saja.
Alit merasakan tarian serigala di pelupuk matanya, mungkin tarian para jahanam yang mengejeknya. Dan perempuan itu terus menyakiti. Ia memperlihatkan gerak-gerik mesum di depannya. Tetapi Alit mungkin keliru. Jika kau ada di antara mereka, kau akan tahu bahwa sebetulnya perempuan itu nyaris tidak bergerak sama sekali. Ia hanya menggelendot, membelit lengan si pemenang, lelaki kaya yang lagaknya tidak pantas, tetapi Alit telah menafsirkan gerak semacam itu sebagai gerak-gerik mesum yang mengejek kebangkrutannya.
Lelaki yang bangkrut, kautahu, sering membangun dunia yang muram. Sementara perempuan itu bertindak praktis saja; ia tidak peduli pada lelaki yang bangkrut. Ia nyaris tidak pernah mengangkat muka. Alit berharap perempuan itu mengangkat muka dan mereka akan saling bertatapan, mungkin sedetik, dan ia akan melemparkan pandangan yang paling menghina kepada perempuan itu. Mungkin ia akan meludah ke lantai dengan ekspresi berlebihan saat mereka saling bertatapan.
Begitulah, di kepalanya berlangsung segala rencana. Itu membuat Alit merasa kepalanya kian berat dan ia ingin meninggalkan tempat itu, meninggalkan pemandangan yang membuat matanya pedih. Akan tetapi pada saat yang sama ia juga ingin terus bertahan di sana. Ia ingin tahu apa saja yang akan dilakukan oleh perempuan itu selain menggelayuti lengan si lelaki berpakaian mewah. Ia ingin tinggal di sana selamanya, menyaksikan sampai sejauh mana seorang pengkhianat akan memeragakan seluruh tindak-tanduknya.
Dorongan yang saling bertentangan itu membuat kaki-kakinya mengeras dan hawa dingin terasa menjalar dari kakinya, merambati tulang belakangnya, dan ia merasakan kaki-kakinya seperti batang besi yang berkarat, kaku dan ngilu. Ia mencoba melemaskan kekakuan itu dan matanya tertuju pada topeng-topeng hiasan di dinding depannya. Tiba-tiba ia ingin mengenakan topeng yang mana saja. Ia tak sudi menunjukkan tampang yang tersiksa di depan perempuan itu. Ia tahu bahwa saat itu tampangnya mungkin sangat tersiksa. Karena itu ia ingin membungkus wajahnya dengan salah satu topeng yang tergantung di dinding.
Ia mengutuki pikiran yang mengada-ada. Ia mengutuki perempuan itu dalam hatinya. Belum lama perempuan itu menggelayuti lengannya; tetapi perempuan itu sepertimya tidak punya kenangan sama sekali. Hanya berselang dua pekan dan perempuan itu menyebutnya kuda pada pertemuan pertama mereka.
Ini kali kedua Alit mengunjungi tempat itu, dan ia datang dengan cinta berkobar-kobar, dengan tekad yang membakar seluruh dirinya. Ia ingin melarikan perempuan itu, membawanya melintasi padang-padang terbuka, menghirup udara di luar sana. Ia jatuh cinta pada perempuan itu, pada lenguhannya yang pertama, dan ia mengembangkan hasrat penyelamatan yang luhur ketika perempuan itu menggayutkan tangan di lengannya.
“Pergilah bersamaku,” katanya waktu itu.
Perempuan itu mengikik dan membekap mulut lelaki ingusan yang baru sekali itu bertemu dengannya.
“Bukalah bajumu,” kata perempuan itu. “Aku tak bisa berlama-lama.”
Perempuan itu menyebutnya kuda ketika ia membuka bajunya dan ia ingin perempuan itu naik ke punggungnya. Akan dibawanya perempuan itu lari dengan kaki-kakinya yang kokoh dan lincah. Tetapi kini kakinya seperti besi karatan. Dan tekadnya layu seketika. Perempuan itu tak memiliki kenangan.
Dengan langkah yang payah, ketika pemandangan di depannya makin tak tertahankan, Alit akhirnya keluar dari tempat itu. Ia datang lagi besoknya, namun perempuan itu tak ada. Ia keluar tak lama kemudian dengan mulut terkunci rapat-rapat, tetapi hatinya terus meracau. Sebetulnya ia ingin berteriak dan memaki nama perempuan itu sebelum keluar, tetapi ia tidak melakukan apa yang ia inginkan.
Ia sempat pergi sebentar ke kamar kecil tadi, menutup pintunya dan menguncinya. Ia ingat ada cermin rompal di dinding kamar kecil itu. Di sana ia ingin melihat wajahnya sendiri.
Alit mencoba tersenyum di depan cermin tetapi tampangnya sungguh kocar-kacir. Lalu ia benar-benar meninggalkan tempat judi itu tanpa mampu memperbaiki situasi tampangnya. Ia tetap kocar-kacir ketika sampai di rumah dan malam itu tak mudah baginya untuk memejamkan mata. Semalaman ia mendoakan segala kemungkinan terburuk bagi perempuan itu: semoga lelaki dower yang ia gelayuti menulari penyakit ganas yang tak bisa diobati. Semoga ia mati mendadak oleh bibir beracun lelaki itu.
Beberapa hari kemudian, setelah mengumpulkan uang sebisa-bisanya, ia datang lagi ke tempat judi itu. Perempuan yang ia doakan seburuk-buruknya itu tetap tak ada. Beberapa kali selanjutnya ia masih mendatangi tempat itu, tetapi ia tak pernah bertemu lagi dengan perempuan itu. Tiba-tiba terpikir olehnya, mungkin permpuan itu mati, mungkin doanya terkabul dan perempuan itu mati seketika.
Sampai sekarang, hampir dua puluh dua tahun sejak perempuan itu menyebutnya kuda, Alit kadang-kadang masih bertandang ke tempat itu dan ingin menanyakan kabar perempuan itu kepada orang-orang yang dijumpainya di sana. Namun ia tak pernah mengajukan pertanyaan. Ia selalu singgah sebentar ke kamar kecil sebelum meninggalkan tempat itu, mencoba tersenyum, dan mendapati bahwa situasi tampangnya memang sudah tidak bisa diperbaiki. (*)
0 komentar:
Posting Komentar