Dear Imajiner.... sastra-paraqibma.com menjadi stasiun bagi teman-teman yang ingin menikmati sajian cerpen minggu pagi. Kami akan berusaha mengarsipnya, disamping kami sediakan pula kolom yang langsung terhubung dengan cerpen beberapa maestro. Semoga berkenan.
_______________________________________________

Senin, 30 April 2012

Bigau

Cerpen DAMHURI MUHAMMAD (Kompas, Minggu, 12 Agustus 2007)

Semenjak usianya genap 80 tahun, orang-orang Kampung Lekung berkeyakinan, ajal Kurai sudah dekat. Melihat tubuh ringkihnya terkulai letai di atas dipan usang tanpa selimut, barangkali tak akan habis baju sehelai, ia sudah mengembuskan napas penghabisan. Rimba persilatan tentu berkabung sebab kehilangan pendekar paling licin yang pernah ada di Kampung Lekung. Mungkin sudah tiba saatnya, lelaki yang seluruh bagian tubuhnya tahan bacok dan tak mempan peluru itu mewariskan ilmu silat tua, lebih-lebih mewariskan Rantai Celeng yang telah tertanam selama bertahun-tahun di dalam daging paha sebelah kirinya. Sebelum terlambat, sebelum mayatnya dibenam ke liang lahat, sebaiknya Kurai segera menentukan siapa yang pantas menjawab hak waris barang keramat itu.

"Harganya lebih mahal dari harga diri Kurai sendiri," begitu luapan kekesalan seorang cukong barang antik yang datang ke Kampung Lekung tapi ditolak mentah-mentah oleh Kurai.

"Bujuk tua bangka itu, agar mau mewariskannya pada salah seorang di antara kalian! Itu bila kalian tidak ingin melarat seumur-umur."

"Jaga mulutmu, kau bisa mati berdiri sepulang dari sini. Enyahlah! Itu kalau kau masih ingin melihat matahari besok pagi," gertak Candung, anak muda kampung Lekung, penguasa lahan parkir di kota kabupaten. Ia pulang menjenguk Kurai yang dikabarkan mulai sakit-sakitan.

"Sekali lagi kau meremehkan Kurai, kujamin kau pulang dengan hidung disumpal kapas."

Kurang tepat bila benda itu dinamai rantai, karena bentuknya bulat melingkar, hampir menyerupai cincin. Tapi, tidak patut pula disebut cincin, sebab diameternya terlalu besar untuk ukuran jari tangan manusia. Disebut rantai, mungkin karena orang-orang membayangkan bila logam menyerupai ring itu dihubungkaitkan dengan logam sejenis, dalam jumlah banyak tentu akan membentuk seutas rantai. Menurut para tetua kampung, Kurai berhasil menggondol Rantai Celeng seusai menyabung nyawa dalam pertarungan melawan celeng berbulu putih sebesar anak kerbau jantan yang keganasannya sudah menjadi kisah turun temurun. Binatang yang dipercaya sebagai raja celeng itu berkali-kali menubruk rusuk Kurai dengan kecepatan melebihi kemampuan celeng biasa. Bila kurang awas, taring sepanjang satu setengah jengkal itu tentu sudah menikam ulu hati dan membuat usus-usus Kurai berhamburan keluar. Semua jurus tangkis dikerahkan Kurai, sesekali tubuhnya terloncat ke atas dahan pohon jirak saat posisinya terdesak, kali lain ia berayun serupa siamang, lalu dalam sekejap mata sudah berdiri di atas punggung celeng tua yang tengah mengamuk itu. Kurai sengaja membuat bermacam-macam gerak tipu, memancing agar celeng terus menyerang, hingga tiba saatnya kehabisan tenaga. Dan benar, begitu serudukannya mulai melemah, sigap tangan Kurai merenggut logam kuning gelap berbentuk bulat melingkar yang tersangkut di salah satu taringnya. Ia berhasil merebut Rantai Celeng yang konon di situlah letak kekuatan celeng itu. Ini hanya satu serpihan cerita perihal kehebatan Kurai tatkala merobohkan raja celeng dan membuat pendekar itu tersohor sampai ke pelosok-pelosok.

Riwayat lain menuturkan, setelah Kurai menumbangkan binatang itu, ia belum sepenuhnya menguasai Rantai Celeng, karena tiba-tiba ia dihadang makhluk berperawakan ganjil. Meski masih menyerupai manusia, tapi tinggi badan makhluk itu hanya sepinggang Kurai dan kedua tumitnya menghadap ke depan, sedang jari-jari kakinya menghadap ke belakang, berkebalikan dengan bentuk kaki manusia biasa. Orang-orang menamainya; Bigau, makhluk jadi-jadian, penjaga babi-babi liar di hutan Kampung Lekung. Suatu masa di musim berburu, tak seekor babi pun ditemukan, ketajaman pengendusan anjing-anjing pemburu tak mempan melacak jejak. Tapi kegagalan itu dianggap lazim, para pemburu akan mempercayai bahwa gerombolan babi tengah disembunyikan oleh Bigau. Jadi, masuk akal bila seusai pertarungan paling melelahkan itu, Kurai dihadang Bigau, meski tak ada yang tahu apa yang terjadi setelah keduanya saling bersiap, pasang kuda-kuda. Orang-orang tergesa mengambil langkah seribu, ketakutan melihat rupa buruk Bigau yang sebelumnya hanya didengar dari cerita di kedai-kedai kopi.

Jangan dibayangkan Kurai membedah paha kirinya dengan pisau, lalu menanam Rantai Celeng di dalamnya, kemudian menjahit belahan itu kembali sebagaimana pekerjaan dokter bedah. Tidak! Kurai melakukannya tanpa mengeluarkan darah, lebih kurang seperti orang menanam susuk di salah satu bagian tubuh perempuan, tanpa harus merasakan perih dan sakit.

Mereka yang ingin memiliki Rantai Celeng tak mau pusing dengan urusan nama, apakah benda ajaib yang bikin Kurai jadi kebal itu layak disebut cincin ataukah rantai? Yang pasti, telah ada kesepakatan diam-diam, bahwa barang keramat yang kini bersarang di tubuh pendekar itu adalah benar Rantai Celeng. Kurai tidak hanya masyhur sebagai satu-satunya pewaris silat tua, tak hanya tangkas menangkis serangan musuh, lelaki yang tahan membujang sampai gaek itu juga kebal senjata, dan karena itu jurus-jurus tangkisnya tidak terlalu berguna lagi. Untuk apa menangkis serangan lawan, tiada senjata yang mempan lukai tubuhnya.

Suatu hari di musim petai, seorang anggota tim buru sergap melepas tembakan saat mengejar peladang ganja yang diduga bersembunyi di hutan tempat Kurai biasa mencari petai rimba. Kurai yang sedang terbungkuk-bungkuk mengumpulkan buah petai yang baru saja dipanjatinya dikira peladang ganja yang akan mereka ringkus, timah panas bersarang di kuduk lelaki itu. Tapi Kurai hanya merasa ditimpa kencing tupai, perlahan ada sesuatu yang terasa dingin di punggungnya, karena geli Kurai menyentuhnya. Ternyata cairan itu bukan kencing tupai, tapi peluru yang sudah leleh. Polisi berpangkat sersan mayor itu terbirit-birit seperti dikejar hantu, meremang semua bulu di badannya setelah menyaksikan peluru meleleh di punggung lelaki pemetik buah petai. Saat masih terengah-engah ia bersumpah tak bakal menginjakkan kaki di hutan celaka itu lagi. Sejak itu, orang-orang Kampung Lekung bebas membuka ladang ganja, sebebas menanam jagung atau tembakau. Para peladang membiarkan Kurai memetik daun ganja sepuasnya. Ia mau menggelek hingga mabuk tiga hari tiga malam pun mereka tak peduli. Nyatanya, seberapa pun banyaknya lintingan ganja digasak Kurai, tak sekalipun ia mabuk dibuatnya. Rupanya Kurai tak hanya kebal senjata, tapi juga kebal dari mabuk ganja.

"Rantai itu mau dibawa mati?" kelakar Candung, centeng lahan parkir yang selalu mengaku cucu Kurai lantaran kerap mengirimkan pendekar itu minuman keras murahan merek T.K.W, meski Kurai tak pernah teler dibuatnya. Menenggak minuman keras sama dengan berkumur-kumur tiap bangun pagi bagi Kurai. Rupanya ia tak hanya kebal senjata dan kebal mabuk ganja, tapi juga kebal dari mabuk minuman beralkohol, jangan-jangan juga kebal dari mabuk buah kecubung.

"Siapa yang bakal mewarisinya? Sebaiknya lekas diputuskan, agar kelak tidak jadi sengketa." bujuk Candung lagi.

"Aku masih menunggu!"

"Menunggu? Menunggu mati? Tidakkah cucumu ini orang yang beruntung itu?"

Kurai tak bergairah menjawab pertanyaan bodoh si cucu gadungan itu. Sejak mula ia mencium gelagat jahat Candung. Penguasa lahan parkir yang kabarnya sedang terancam oleh musuh-musuh bersengat itu tidak tertarik hendak berguru ilmu silat tua pada Kurai. Ia ingin mentahnya saja; kebal senjata, tahan celurit, tak mempan pistol. Selain akan membuat musuh-musuhnya bertekuk lutut, Candung hendak memperlebar sayap kekuasaan, bila perlu hengkang dari kota kabupaten, mencaplok lahan parkir di kota-kota besar. Tak perlu gamang bila Rantai Celeng sudah dalam genggaman.

Para kolektor barang antik belum sepenuhnya percaya kalau pendekar pemetik petai benar- benar memiliki Rantai Celeng, sebab rantai itu bukan sembarang peliharaan. Dalam setahun, sekurang-kurangnya tiga kali benda itu mesti didarahi dengan menyembelih kambing jantan di malam terang bulan. Penyembelihan dipersembahkan untuk Bigau, si penjaga celeng. Sekali syarat itu diabaikan, Rantai Celeng tiada bakal ampuh lagi, kekuatannya akan diisap Bigau. Bagaimana mungkin Kurai mampu melakukan tirakat penyembelihan tiga ekor kambing dalam setahun, sementara hidupnya hanya mengandalkan petai rimba yang kadang berbuah, kadang tak bersisa dimakan beruk. Kalaupun ia masih menyimpan Rantai Celeng, tentu keampuhannya sudah hilang, atau pendekar itu sudah menyerahkannya kembali pada Bigau. Tapi, dugaan itu tidak sepenuhnya benar. Mereka tidak pernah tahu betapa berterima kasihnya para peladang ganja pada Kurai. Selagi ia masih hidup, tak bakal ada yang berani membakar ladang-ladang mereka. Itu sebabnya, secara bergilir mereka menyediakan seekor kambing jantan bila tiba saatnya Rantai Celeng harus didarahi. Apa pun sanggup mereka lakukan demi kedigdayaan Kurai, orang yang telah membuat mereka seperti kejatuhan durian runtuh. Jangankan kambing jantan, kerbau jantan pun mereka sanggupi, asal ladang-ladang ganja aman dari kejaran.

****

Kurai mulai resah, bukan karena sesak napasnya kambuh, tapi karena teringat perjanjian dengan Bigau selepas perkelahian mati-matian puluhan tahun silam. Makhluk jadi-jadian itu memang tidak mampu merebut Rantai Celeng di genggaman Kurai, tapi Bigau mengancam, bila Kurai nekat menggondol Rantai Celeng, sawah-sawah di wilayah Kampung Lekung tidak akan bisa dipanen. Bila sawah-sawah mulai menguning, Bigau akan menghalau gerombolan babi liar guna mengobrak-abrik dan membucuti setiap rumpunnya. Buah padi akan ludes sebelum sempat dituai. Paceklik bakal menimpa Kampung Lekung dan tidak akan berhenti selama Rantai Celeng masih bersarang di tubuh Kurai. Itu sebabnya, para petani tidak bersemangat lagi menggarap sawah, mereka membuka lahan baru dalam hutan, menggarap ladang-ladang terlarang.

"Jadi, siapa orang yang beruntung itu?" tanya Candung lagi, kali ini penuh harap.

"Bigau!" balas pendekar gaek itu, dan tak lama kemudian sesak napasnya kambuh.


Kelapa Dua, 2007

0 komentar:

Posting Komentar