Dear Imajiner.... sastra-paraqibma.com menjadi stasiun bagi teman-teman yang ingin menikmati sajian cerpen minggu pagi. Kami akan berusaha mengarsipnya, disamping kami sediakan pula kolom yang langsung terhubung dengan cerpen beberapa maestro. Semoga berkenan.
_______________________________________________

Sabtu, 28 April 2012

Palung

Cerpen Oka Rusmini

PEREMPUAN itu mengurai rambutnya yang mulai berwarna kelabu. Cermin di depannya membuatnya selalu merasa ingin berpaling. Ya, dia ingin sekali menonton wajahnya. Membaca remah-renah yang membuat warna kerutan di wajahnya makin keras, seperli goresan garis di kanvas. Setiap garis memiliki maknanya sendiri. Semua lekuk dan kerut itu pasti memiliki cerita. Kelamkah? Ia ingin sekali mengenal dengan detail setiap wajahnya. Seperti sebuah lekuk peta. Oh, bukan. Bukan peta, mungkin lebih tepat palung.

Lengkungnya, kekasarannya, juga deburan air yang menampar-nampar, menyakiti setiap sisi dari keratan tubuhnya. Meninggalkan rasa gilu. Rasa sakit yang tidak mungkin bisa diobati. Rasa sakit yang nikmat? Adakah rasa sakit yang nikmat itu? Begitulah air melukai palung itu, seperti melukai seluruh perjalanan hidup. Tapi palung tidak pernah mengeluh, memaki, atau mengumpat dengan beragam sumpah serapah. Seperti dirinya yang selalu mengumpat dan marah. Kemarahannya seringkali menganggu orang-orang yang berada di dekatnya. Kata orang-orang, kemarahannya begitu mengerikan.
Hanya perempuan yang terluka bisa membunuh dirinya sendiri. Hanya perempuan yang terluka bisa memakan hidup-hidup anak yang dikandungnya. Hanya perempuan terluka yang bisa menggorok batang leher anak yang dikandungnya. Hanya perempuan yang terluka bisa meremas daging hidup yang meletus dari rahimnya lalu membuangnya di tong sampah. Semua itu dilakukannya tanpa beban.
Lalu, kemana hatinya? Kemana perasaannya? Kemana rasa keibuannya? Bukankah perempuan itu makhluk yang membuat bumi damai. Penyejuk yang lebih menyejukkan dari beragam penyejuk. Sapuan angin pegunungan juga tidak bisa mengalahkan rasa sejuk yang lahir dari tubuhnya.
Bagaimana kalau dia perempuan yang terluka? Dikhianati. Ditikam dari belakang. Pikiran, hati, jantung, perasaan, juga seluruh perjalanan hidupnya digerus. Salahkah kalau perempuan itu meradang? Mengamuk! Menghancurkan seluruh makhluk hidup juga benda mati yang muncul di depan matanya?
Pernahkah kau menemukan perempuan yang terluka? Dan bertanya padanya, apakah yang diinginkannya? Obat apakah yang bisa menyembuhkan lukanya?
“Tak ada obat yang bisa menyembuhkan perempuan yang terluka hati, jantung, pikirannya?”
“Aku bisa mencarikan balian, dukun.”
“Tak ada balian yang bisa menyembuhkanku.”
“Bagaimana kalau kutawarkan sepiring menu lelaki. Kau bisa memilihnya. Kau patah hati?”
“Ini lebih dari patah hati?”
“Maksudmu? Adakah yang melukai makhluk hidup bernama perempuan selain patah hati?”
“Ada.”
“Apa?”
“Apa yang ada di otakmu ketika hatimu dicabut paksa. Lalu, di depan matamu hatimu diiris-iris. Untuk sebuah pesta cinta di tengah malam. Sejoli burung malam muncul penuh aroma cinta. Kedatangan di tengah malam. Tamu yang tak pernah diundang. Mereka datang diiringi lagu cinta, kata-kata cinta, puisi-puisi mabuk. Mereka datang-pergi tanpa mengetuk pintu. Juga tidak membuka jendela. Tanpa suara, tanpa bau.”
“Burung apakah itu?”
“Burung pengecut!”
“Kau benar-benar perempuan terluka?”
“Adakah yang lebih tepat dari terluka?”
“Kau terluka?”
“Sangat dalam.”
“Kuhidangkan menu lelaki?”
“Masihkah kuperlukan mahluk itu? Tak adakah pilihan yang lain? Menu yang lebih menggairahkan lagi?  Mungkin semangkuk salad perempuan?”
“Tak ada menu perempuan. Kau masih menyantap lelaki kan? Kau bisa memakannya satu demi satu. Kau pilih menunya?”
“Aku ingin hatiku kembali.”
“Apakah sejoli burung malam itu telah memakan hatimu?”
“Mereka tidak hanya makan hatiku. Juga makan jantung dan pikiranku.”
“Apakah kau masih hidup?”
“Mungkin tidak. Lukaku lebih dalam dari luka.”
“Sejoli burung malamkah yang membunuhmu?”
“Mereka tidak hanya membunuhku. Adakah yang lebih kelam dari kematian? Adakah yang lebih menyakitkan dari kebohongan?”
“Kau benar-benar luka parah.”
“Lebih parah dari apa yang sedang kau pikirkan. Perempuan yang terluka itu seperti makhluk buas yang siap menelan apa pun. Kau tahu itu? ”
“Tidak.”
“Jangan pernah membuat perempuan terluka.”
“Kenapa tidak kau bunuh sejoli burung malam itu? Di mana bisa kutemukan pasangan itu? Kalau kau tidak bisa membunuhnya, aku akan datang pada mereka.”
“Mereka sejoli yang cerdik…. Datang ketika kau tertidur…. Pulang ketika kau terbangun. Bagaimana kau akan membunuhnya? Senjata apa yang akan kau pakai?”
“Aku akan bersembunyi menunggu kedatangan mereka.”
“Mereka pecinta yang ulung. Yang lelaki begitu sabar menunggu, berjam-jam dia bisa menunggu sampai kau kelelahan. Dia begitu sabar menunggumu sampai kau benar-benar tertidur. Setelah kau tidur, sejoli itu muncul. Mereka datang tanpa pernah mengetuk pintu. Kedatanganya begitu misterius. Mereka punya kode-kode khusus yang hanya mereka pahami. Mereka juga punya panggilan khusus yang lelaki bernama: Mata Air. Yang perempuan bernama: Bintang.”
“Mata Air?”
“Nama yang indah.”
“Ya. Nama yang terlihat suci, ganas, gaduh, tetap dingin. Kadang-kadang juga terlihat terhormat.”
“Bintang?”
“Karena perempuan itu hanya muncul pada malam hari. Tak ada bintang ketika subuh.”
“Kau terluka?”
“Sangat dalam.”
“Tidakkah kau ingin membunuh mereka?”
“Adakah yang lebih ganas dari kata membunuh?”
“Kau kenapa?”
“Terluka sangat dalam.”
***
PEREMPUAN itu benar-benar ingin menjadi palung. Aku tidak pernah paham, kenapa dia selalu ingin menjadi palung. Kadang, ketika duduk berdua, aku sering memandang matanya yang teduh. Mata yang begitu penuh cerita. Mata yang membuatku merasa nyaman berada di sisinya. Menyentuh kulitnya yang keriput. Atau menatap matanya yang bulat. Mata seorang penari. Mata yang memikat. Mata yang membuat semua orang percaya, bahwa dia seorang perempuan Bali. Perempuan yang biasa menari. Perempuan yang menjajakan tubuhnya hanya untuk para dewa.
Aku belum pernah melihat perempuan yang memandangku begitu tulus. Penuh cinta dan gairah. Tatapannya membuatku bergairah. Seperti magnet yang menarikku. Aku selalu ingin menjatuhkan kepalaku di pangkuannya. Atau aku ingin menangis di dadanya. Atau bercerita lirih di telinganya. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa perempuan ini ketika muda? Makhluk apakah yang tega mencabik-cabiknya. Merusak seluruh sistem kehidupannya. Merampas hari-hari dan masa depannya.
Lelakikah? Yang merusaknya?
“Aku ingin menjadi palung. Yang tidak pernah sakit hati dan terluka ketika disakiti?”
“Adakah manusia yang kuat disakiti?”
“Makanya aku ingin jadi palung.”
“Kau tidak pernah tahu. Mungkin saja luka palung lebih kuat dari lukamu?”
“Aku ingin cantik dan tegar seperti palung?”
“Sejoli malam itu membuatmu sering meracau.”
“Aku tidak meracau. Kau tahu, sejak sejoli malam itu datang di tengah malam dan pulang menjelang subuh. Aku telah kehilangan lelakiku.”
“Lelakimu?”
“Ya. Kupikir dia telah menjelma jadi makhluk asing ketika aku tertidur.”
“Kau tahu yang dilakukannya?”
“Tidak. Aku tertidur. Tetapi aku merasakan lelaki itu mengiris-iris hatiku. Juga mencangkuli jantungku. Mereka selalu datang malam hari menanak pikiranku, menggoreng hati, dan membuat sop jantung untung pesta cinta mereka. Kurasakan kehadiran sejoli malam itu di mimpiku. Lelakiku sering mengigau sambil memanggil sebuah nama. Lalu mereka bercumbu…. Meninggalkan darah yang tercecer dari: pikiran, jantung dan hatiku. Setiap malam mereka datang.”
“Ketika kau tak ada.”
“Ya. Ketika aku tak ada.”
“Bunuhlah!”
“Jejaknya tak ada. Jejaknya tertinggal di otakku.”
“ Aku tahu sekarang. Kenapa kau sering menjerit-jerit sambil meracau.”
“Aku tidak meracau. Aku membaca mantra?”
“Mantra?”
“Ya. Mantra untuk memanggil hati, jantung, dan pikiranku yang bocor dan teriris. Hati, jantung, pikiranku mulai membusuk. Aku tidak meracau! Aku merapal mantra….”
“Ya. Ya. Jangan mengamuk.”
***
PEREMPUAN itu ingin menjadi palung. Keinginan yang sangat aneh! Aku telah jatuh cinta padanya. Sejak melihatnya pertama kali. Jantungku berdegup. Wajah perempuan itu begitu berkarakter. Pipinya yang licin. Hidungnya yang tegak. Matanya, ya, aku suka matanya. Begitu hidup dan membuatku sangat bergairah. Gairah yang tidak pernah kudapatkan dari perempuan mana pun. Ketika dia bercerita, begitu mempesona. Ceritanya begitu runut. Wajahnya terlihat makin cemerlang. Kupikir: perempuan itu adalah perempuan tercantik yang pernah muncul dalam hidupku.
Aku juga menyukai jari-jarinya yang panjang. Kukunya terawat rapi. Kelihatan sekali kalau dia perempuan yang pajam memanjakan tubuhnya.
Aku kembali menatapnya.
“Apakah aku masih terlihat cantik?” Kali ini untuk pertama kali dia berkata padaku. Padahal sudah hampir sepuluh tahun dia tidak bicara. Dia bicara dan menyatakan keinginannya dengan pensil yang selalu digantungkan di lehernya yang jenjang. Kali ini dia bicara?! Aku bergidik. Girang.
Hyang Jagat, perempuan satu-satunya di dunia yang sangat kukagumi. Kubayangkan dia ketika sepuluh tahun yang lalu. Betapa cantiknya. Betapa menggairahkan. Yang menjadi beban pikiranku, kenapa perempuan itu begitu terobsesi menjadi palung. Palung di tengah laut. Sendiri. Kedinginan. Kesepian. Siapa yang bisa membaca perasaan palung di tengah laut?
“Aku bisa merasakan perasaan menjadi palung di tengah laut.” Suaranya terdengar pelan. Lalu kembali sunyi. Hanya itu kata-kata yang keluar dari bibirnya yang merekah merah. Dia benar-benar perempuan menggairahkan.
***
“KAU memang sudah gila. Bila jatuh cinta dengan perempuan itu. Aku akui dia cantik. Tapi bisakah kau berpikir, apakah kau tidak takut digiling seperti daging ayam potong di mesin blender? Seperti dia menggiling suaminya? Atau memotong anak-anaknya, karena dia merasa hidup anak-anaknya tidak bahagia?”
“Tapi kau tidak mengenalnya?”
“Kau yang tidak mengenalnya! Melihat matanya, aku seperti melihat mata yang mengerikan. Mata yang akan menelanku hidup-hidup!”
“Matanya, begitu cantik. Mata seorang penari!”
“Dulu!”
“Masih terlihat keindahannya!”
“Hah? Keindahan?”
Tak ada seorang psikiater pun bisa melihat keindahan perempuan itu. Aku tahu dari surat-surat yang dikirimkan padaku. Dia perempuan yang terluka, yang merasa disayat-sayat hidupnya. Ditikam dari belakang. Walaupun lelaki yang mengawininya tidak pernah menggores kulitnya seinci pun. Tapi dia perempuan yang terluka. Yang selalu terjaga di tengah malam, melihat suaminya menjelma jadi sejoli burung malam. Bermesra dan mengumbar kata-kata cinta di rumahnya, sambil memutar lagu-lagu cinta picisan yang dibeli di pasar malam.
Perempuan aneh yang tidak pernah tidur, selalu waspada. Dia akan tidur pukul empat pagi. Dan selalu terjaga dengan sorot mata pucat dan kecewa. Dia perempuan yang benar-benar terluka. Perempuan terluka yang bisa memakan apa saja yang telah mematahkan hati, jantung, pikiran, dan kepercayaannya. Perempuan yang membakar radio yang memutar lagi-lagu cinta. Mengumpat tak jelas. Tapi aku mencintainya. Perempuan tercantik dan jujur dengan luka menganga di seluruh perjalanan hidupnya. (*)
.
Denpasar, 2008-2009-2010
Oka Rusmini, saat ini tinggal di Denpasar, Bali. Ia menulis puisi, novel dan cerita pendek. Bukunya yang telah terbit: Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007) , Erdentanz, novel Tarian Bumi edisi bahasa Jerman (2007), Pandora (2008) dan Tempurung (2010).

0 komentar:

Posting Komentar